28

5.8K 1.1K 179
                                    

DANANG

.

.

.

TERNYATA seperti ini rasanya ditinggal selamanya oleh orang tua. Sepi, hampa, tak punya tujuan lagi. Harta yang menggunung, jabatan yang tinggi, semuanya seolah tak ada artinya lagi, seolah tak menarik lagi.

Hanya kehampaan dan rasa sesal yang terasa begitu menyesakkan. Hampa karena tak ada lagi sosok orang tua yang akan manerima diri tanpa syarat, dan sesal karena sampai menutup usia, diri masih belum bisa membahagiakan.

Jeno terbangun di pukul setengah lima pagi. Biasanya ia akan mendengar suara Bapak ataupun ketukan pintu yang menyuruhnya untuk segera bangun. Tapi sekarang rumahnya begitu sepi, hanya ada dirinya seorang, tak ada lagi suara Bapak yang menghangatkan paginya. Rasanya seperti sudah lama, padahal Bapak baru pergi satu minggu lalu.

Setelah termenung sesaat di pinggir ranjang, Jeno kemudian bangun dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya. Tak berapa lama ia kembali keluar dengan wajah yang tampak segar.

Satu langkah menapaki ruang tengah, Jeno kembali terdiam. Hanya keheningan yang bisa ia dengar dan sepi yang bisa ia lihat. Jeno tersenyum tipis lantas pergi ke dapur untuk menanak nasi.

'Kalo mau pergi jangan lupa sarapan dulu, seburu-buru apapun sarapan itu penting.' Jeno teringat dengan kata-kata yang selalu diucapkan sang ayah setiap pagi.

Kedua tangan Jeno dengan telaten membersihkan beras secukupnya dan memasukkannya ke dalam rice cooker. Ia lantas membuka pintu rumah dan mendapati langit masihlah gelap. Jeno kemudian mengambil sapu ijuk dan mulai membersihkan rumahnya sembari menunggu sarapannya jadi.

'Beres-beres dulu kalo mau pergi. Jangan ninggalin rumah kayak kapal pecah.' Jeno kembali teringat dengan ucapan Bapak.

Setelah membersihkan rumah, Jeno duduk di kursi teras sebelah kanan sambil memutar lagu Sunda. Tempat dan lagu yang ia dengarkan sekarang adalah favorit sang ayah. Mata Jeno menatap ke atas pada langit yang mulai dihiasi warna terang dan suara kicauan burung pagi yang menyapa indra pendengarnya.

"Gini ya Pak rasanya kesepian. Gak enak hehe..." Jeno terkekeh saat mengucapkannya.

Jeno masih diam menikmati kesendiriannya. Sampai matahari terlihat di ufuk timur, ia mulai bangkit dari duduknya untuk segera membersihkan diri dan juga sarapan. Jeno tak boleh telat. Meskipun ia masih berduka, namun dirinya memiliki tanggung jawab besar pada pekerjaannya. Pada profesi yang menjadi tanggung jawabnya.

Setidaknya Jeno bisa melupakan rasa duka mendalam dan kesepiannya saat disibukkan dengan pekerjaan.

Sekitar pukul setengah tujuh, Jeno sudah bersiap untuk pergi demi memenuhi kewajibannya. Ia mengunci seluruh pintu rumah dan menaiki Si Elang. Sejenak, Jeno terdiam sebentar mengamati rumahnya. Tidak ada yang berubah, hanya terasa lebih sepi.

Jeno menghela nafas. Ia melirik jam di pergelangan tangan kirinya. "Biasanya, jam segini Bapak lagi nyiram tanaman. Tapi maaf ya Pak, Danang siram tanaman-tanaman kesayangan Bapak nanti sore. Takut kesiangan."

.

.

Tak ada yang berubah, Jeno bekerja dengan profesional. Ia tampak ceria seperti biasa meskipun dalam hati, dirinya masih berduka. Jeno tak ingin melibatkan masalah pribadi dengan pekerjaan karena bagaimana pun dua hal itu sudah berada di ranah yang berbeda.

Hari ini Jeno memulai pekerjaannya dengan kembali menjadi pembicara pada sebuah seminar penanggulangan kebakaran yang diadakan oleh salah satu perusahaan konveksi, di mana kali ini banyak sekali wanita yang bekerja di dalamnya. Sebenarnya Jeno cukup pusing dengan tugasnya kali ini karena sasarannya pun tidak biasa, apalagi saat membayangkan praktik pemadaman api di penghujung seminarnya ini. Pasti sangat sulit karena didominasi oleh ibu-ibu.

DANANG | NOMINWo Geschichten leben. Entdecke jetzt