45. Penyesalan Randu

1.5K 137 23
                                    

******

"Aku sangat sayang sama Ayu, Han. Sumpah demi Allah, aku udah nggak ada perasaan apa-apa lagi sama Nadia." Randu mengerang frustasi, "demi Tuhan, Nadia udah jadi istri orang. Aku nggak mungkin masih menyimpan perasaan ke dia."

Hana mulai menguasai emosinya. "Terus kenapa Mas Randu begini?"

Randu menghela napas sambil menggeleng. Pikirannya kalut, ia merasa benar-benar bersalah dengan Ayu. Dalam hati, ia memaki dirinya sendiri. Kenapa dirinya sebodoh ini?

"Nggak tahu, Han, semua terjadi begitu aja." Randu meremas rambutnya putus asa, "Mas nggak bisa mikir."

"Makanya jadi orang jangan terlalu baik," dumal Hana, "biar nggak gampang dimanfaatin orang begini."

Dengan pandangan tidak terima, Randu melotot tajam ke arah wanita itu.

Hana mendesah. "Ya, abis Mas Randu tuh bikin gemes tau. Ngapain sih sok-sokan perhatian sama mantan. Nggak penting banget," decak Hana makin sebal, "kalau udah gini siapa yang repot? Mas Randu sendiri kan? Masa aku sama Mas Rishwan nunda bulan madu cuma buat ginian? Mas Randu nggak kasian sama aku?"

Randu terdiam. Ia merasa bersalah. Akibat kecerobohannya, semua harus mendapatkan getahnya. Ia jadi semakin tidak enak terhadap sang adik ipar. Ya Tuhan, tidak berguna sekali dirinya.

"Sorry, kalian berangkat besok aja gimana? Mas pe--"

"Nggak usah aneh-aneh," potong Hana buru-buru, "urusin masalah Mas Randu sama Mbak Ayu dulu. Setelah itu beres, baru kita berangkat. Udah, Hana pulang duluan. Abis minta maaf ke Mbak Ayu, jangan lupa tidur. Muka Mas Randu kuyu banget, jadi makin jelek." Ia berdecak sambil geleng-geleng kepala lalu keluar dari ruangan Randu.

Selepas kepergian sang adik, Randu memilih duduk. Tubuhnya lelah luar biasa, lelah fisik maupun psikis. Ia memejamkan mata sejenak. Randu merasa benar-benar butuh tidur sekarang.

Brak!

Randu terlonjak kaget, saat pintu ruangannya tiba-tiba dibuka dengan kasar. Tak lama setelahnya, seorang pria dengan perawakan tinggi masuk dengan ekspresi tidak bersahabat. Randu menelan salivanya dengan susah payah. Ia mengenal pria ini. Pria ini adalah suami Nadia. Buru-buru Randu berdiri menyambut pria itu, ia butuh menjelaskan kronologi kejadian sebelum suami Nadia ini menghajarnya. Karena kalau dilihat dari kilatan amarah pria itu, sepertinya suami Nadia benar-benar siap menghajarnya habis-habisan.

"Selamat--"

Bughh!

Belum selesai Randu menyapa suami Nadia, pria itu lebih dulu melayangkan pukulan keras pada wajahnya. Randu sedikit shock. Ia merasakan sudut bibirnya perih. Sialan. Apa-apaan pria ini? Batinnya tidak terima.

"Maksud anda apa?" protes Randu tidak terima.

"Harusnya saya yang tanya begitu, maksud anda apa berani mengambil tindakan tanpa izin saya. Anda pikir, anda siapa? Anda bahkan tidak mencoba menghubungi saya untuk memberitahu kondisi istri dan anak saya. Dokter macam apa anda ini?" Suami Nadia tampak tersenyum mencibir, "kenapa? Anda masih berharap pada istri saya. Makanya anda berbuat hal semacam ini?"

Randu mengeram tertahan. "Sialan!" umpatnya pelan, "maksud lo apa?"

Persetan dengan sopan santun dan yang lainnya. Randu sudah terlanjur tersulut emosinya. Demi Tuhan, ia sudah tidak tahan sekarang.

"Kamu pikir saya tidak tahu, kalau kamu adalah mantan istri saya."

Randu mendengus tidak percaya. "Terus kenapa kalau gue mantannya istri lo? Lo merasa tersaingi? Lo ngerasa insecure sama gue? " cibirnya sengak.

GamaphobiaWhere stories live. Discover now