41. Nikahan Hana

1.3K 130 10
                                    


---------

Beberapa bulan kemudian

Randu berdecak sambil geleng-geleng kepala, melihat Ayu tampak sibuk mengarahkan anak buahnya. Ia melirik jam tangannya. Masih pukul setengah enam pagi. Padahal acara ijab qobul akan dilaksanakan jam sembilan, dan Ayu yang bertugas untuk mendampingi Hana nanti. Tapi lihatlah calon tunangannya itu, malah sibuk mondar-mandir sambil sesekali mengomel kalau pekerjaan anak buahnya tidak sesuai dengan kemauannya.

"Pokoknya saya nggak mau tahu, dalam waktu kurang dari sejam hidangan itu udah harus ada di sini. Saya nggak mau tahu. Ini acara calon adik ipar saya, Galih, jangan malu-maluin saya dong! Buruan kamu cek ke dapur! Sebentar lagi tamu keluarga Randu datang, masa belum ada apa-apa."

Kekasihnya itu benar-benar seram kalau mode galak begitu. Batin Randu sambil geleng-geleng kepala, merasa ngeri dengan sikap Ayu.

"Sayang!" panggil Randu.

Ayu buru-buru menoleh, karena cukup hafal pemilik suara itu. Ia tersenyum tipis sambil melepas plaster demam yang tadi sempat tertempel di dahinya. Perempuan itu kemudian memasukkan bekas plaster demamnya ke dalam saku blazer.

Ini pertama kalinya Randu melihat Ayu benar-benar bekerja sambil memakai plaster demam. Astaga! Randu beneran shock saat melihatnya langsung.

"Kamu demam lagi?" tanya Randu khawatir. Ia mengelus pipi Ayu. Wajah kekasihnya ini benar-benar terlihat kuyu dan pucat.

Sebulan ini event yang Ayu tangani cukup membuat tubuh kekasihnya ini kewalahan. Ayu beberapa kali demam. Namun, saat Randu mengajaknya untuk periksa, calon tunangannya itu selalu menolak dengan alasan demamnya sudah turun.

"Udah turun kok berkat plaster demam. Cuma nyisa pusing dikit."

"Yu, abis acara nikahan Hana kita tunangan loh. Aku nggak mau ya, hari lamaran kita kamunya malah sakit."

"Hush, nggak boleh gitu. Omongan adalah doa." Ayu kemudian merangkul lengan Randu, "sarapan, yuk, laper nih abis marah-marah."

Randu mengangguk setuju. "Plis, jangan sampai sakit, ya!" pesannya sambil mengecup pelipis Ayu. Lalu keduanya berjalan beriringan meninggalkan ballroom menuju restoran yang ada di hotel untuk sarapan.

"Kenapa?" Ayu bertanya dengan nada keheranan saat Randu sudah menyuapkan sepucuk nasi ke dalam mulutnya.

Namun, yang membuat Ayu heran karena Randu tak kunjung mengunyahnya. Ia membiarkan sendok itu tepat di sana, didiamkan selama beberapa detik--yang entah apa faedahnya--.

"Berdoa," jawab Randu enteng.

"Hah? Doa apa?"

"Doa sebelum makan dong."

Ayu semakin tak paham. "Kok begitu caranya?"

Randu meringis malu. "Ya, gimana, tadi lupa, keingetnya pas sendok udah masuk mulut. Masa mau dilepeh lagi, kan repot. Ntar lama kamu ngambek lagi."

Jawabannya luar biasa. Ayu sampai speechless saat mendengarnya. Dan kenapa harus bawa-bawa dirinya yang tukang ngambek, padahal ia tidak merasa demikian.

"Besok kamu pulang ke Solo ambil penerbangan pagi atau sore?"

"Sore."

"Ibu sama Mbak Ajeng pulang sore juga?

Ayu menggeleng. "Mereka pulang pagi. Mas Akmal bawa mobil kok ke sini-nya."

"Loh, kenapa nggak bareng mereka?" Kening Randu mengerut heran.

"Capek. Aku butuh tidur dulu."

"Berarti nanti kamu pulang sendiri?"
Ayu mengangguk, mengiyakan, "lagi sakit begini?"

GamaphobiaWhere stories live. Discover now