Bad Day

922 103 0
                                    

Satu minggu sudah aku melakukan penelitian di perusahaan start-up yang tengah berkembang. Sesuai jadwalku, aku hanya membutuhkan kurang lebih 2 minggu untuk menyelesaikan pengumpulan data-data. Aku cukup bersyukur memilih perusahaan ini, meskipun tergolong baru berdiri namun mereka sangatlah welcome terhadap mahasiswa yang mau melakukan penelitian di sana. Segalanya terstruktur dan terarah.

Dalam pengumpulan data ini aku dibantu oleh salah satu intern yang tugasnya memang membantu mahasiswa yang mengerjakan skripsi. Dalam waktu ini aku tak sendiri, melainkan ada 3 mahasiswa lain dari universitas yang berbeda tengah melakukan penelitian juga. Dan biasanya perusahaan akan menyeleksi judul yang sekiranya bisa diterima dan berbeda.

Weekend ini aku berencana untuk mendatangi toko bunga dimana Cindy bekerja dan saat itu menawarkanku pekerjaan. Aku tak yakin jika mereka masih membutuhkan pekerja karena sudah lama sejak Cindy memberiku alamat toko itu. Namun tak ada salahnya mencoba untuk datang ke sana.

Sekitar kurang lebih 20 menit dari apartemen aku sudah sampai di depan florist store yang menurutku mewah. Sekilas ku baca nama toko bunga itu, Nara's Flowers. Melihat berbagai macam bunga dan warnanya yang cantik membuatku tersenyum. Tiba-tiba aku berharap mereka masih membutuhkan pekerja karena aku sangat ingin bekerja dengan bunga-bunga cantik itu.

Aku menarik nafas dalam sebelum memutuskan mendorong pintu toko bunga itu, bel otomatis berbunyi saat kakiku melewati pintu. Seseorang menyapaku dari balik meja kasir yang jaraknya sekitar 5 meter, dia tengah sibuk dengan komputer di depannya. Aku sudah beberapa kali mencari pekerjaan seperti ini, namun tetap saja rasa gugup menyelimuti seperti saat pertama kali aku bekerja di sebuah toko buku dulu. Aku mendekat ke meja kasir dan dikejutkan dengan sosok Cindy di sana. Dia hanya menatapku terheran juga.

"Aku kira kau lupa dengan tawaranku" tanyanya setengah berbisik. Aku hanya meringis.

"Aku harap di sini masih membutuhkan pekerja tambahan" ujarku. Cindy tersenyum lalu memintaku untuk menunggu di ruangan si empunya store. Ku lihat beberapa mainan anak tersebar di sana yang identik mainan anak perempuan.

Ku dengar suara hills menuju tempat dimana aku duduk. Aku bersiap menyapa. Namun, saat melihat siapa yang masuk, membuatku mematung ditempat aku berdiri. Aku berharap, orang itu hanya sekedar mirip. Namun melihat reaksi yang ditunjukkan olehnya membuatku semakin ingin berlari pergi dari ruangan yang tadi ku anggap nyaman itu. Tapi, aku tak ingin menjadi seorang pengecut yang selalu menghindari kenyataan.

Sekeras aku berpikir tentang mengapa dia di sini, di hadapanku, nyatanya aku tetap tak menemui jawabannya. Tidak mungkin jika mencari kami menjadi alasannya. Aku ingin bertanya, namun bibirku kelu. Bahkan kalau boleh aku ingin berlari kepelukannya tak peduli bagaimana reaksinya. Sungguh, dia terlihat sangat mirip dengan mama, meskipun bukan. Ah iya, apakabar orang yang pernah ku panggil mama itu?

"Maaf membuatmu menunggu lama" ujarnya memecah keheningan. Aku masih terdiam hingga orang itu duduk dikursi miliknya.

"Jadi benar kau teman Cindy yang sedang membutuhkan pekerjaan?" Tanyanya membuatku ingin tertawa miris.

"Awalnya seperti itu, namun sepertinya saya sudah mendapatkan pekerjaan lain. Jadi saya izin permisi" bohongku dan aku berniat ingin segera pergi dari sini.

"Apakah aku perlu memperkenalkan diri karena sepertinya kau sudah melupakan kami" ujarnya yang membuatku berhenti.

"Bagaimana kabar kalian? Aku harap pria itu baik-baik saja" mendengarnya membuat hatiku teriris perih hingga aku takut air mataku sebentar lagi akan jatuh. Karena tak sanggup menjawabnya aku memilih keluar dari sana dengan langkah cepat. Bahkan ku dengar Cindy yang memanggilku sebelum aku mencapai pintu namun tak ku hiraukan. Nyatanya aku masih tak siap untuk menghadapi apa yang aku takutkan selama ini.

Dengan pikiran yang berkecamuk aku berjalan mengikuti kemana kakiku melangkah. Pulang bukanlah pilihan yang tepat untuk saat ini. Aku melewati taman yang cukup sepi dan memutuskan untuk menduduki salah satu bangku di sana.

Jika beberapa waktu lalu aku masih ragu saat melihatnya di pesta kolega Edward, kini aku yakin tak salah lagi. Bahkan sejak saat itu aku sudah mempersiapkan diri jika suatu waktu bertemu secara tak sengaja, seperti hari ini. Namun ternyata aku masih menjadi pengecut.

Mungkin 8 tahun lalu aku tak bisa menilai keputusanku benar atau salah, bahkan aku tak berpikir jika itu akan menyakiti orang lain. Aku hanyalah anak remaja yang saat itu mengidolakan papaku, hingga aku mengikutinya dan berakhir disini, meninggalkan mama dan kakakku.

Sebersit adegan 8 tahun lalu terputar dengan jelas di kepalaku. Bagaimana mama menatapku dengan mata sendunya berharap aku tak pergi sementara kakakku menatapku penuh rasa kecewa, yang saat itu tak ku mengerti. Bahkan aku masih melihat rasa kecewa itu di mata kakakku tadi. Aku tak bisa menyalahkannya, tapi bukankah aku juga korban yang bahkan tak ku pahami apa yang telah terjadi saat itu.

Aku bersandar pada bangku taman dan menengadahkan wajah. Hingga sebuah suara membuatku memejamkan mata untuk mengatur ekspresi yang harus ku tunjukkan dan meyembunyikan perasaanku.

"Apa yang kau lakukan disini?" Sapanya yang dapat ku tebak dia sedang jogging melihat pakaiannya.

"Hanya bersantai. Kau tidak salah berlari disaat matahari sudah di atas kepala?" Godaku membuat Justin tersenyum tipis.

"Waktu yang tepat untuk membakar kalori asal kau tau saja" balasnya, dia melepas headphone-nya lalu duduk di samping ku.

"Ah benarkah?" Tanggapku singkat, karena aku sendiri merasa sedang tak ingin terlibat dalam percakapan. Justin hanya mengangguk lalu menatapku menyelidik.

"Apa?" Tanyaku, lalu Justin mengalihkan padangannya dariku.

"Kau ada rencana setelah ini?" Tanyanya. Aku menggeleng.

"Belikan aku makan siang" ujarnya dengan enteng.

"Kau berjanji menraktirku bukan?" Ya aku mengingatnya, sebenarnya aku sedang ingin sendiri, namun saat melihatnya penuh harap aku tak enak untuk menolaknya.

"Kau mau makan di mana memang?" Tanyaku membuat pria itu tersenyum penuh kemenangan. Lalu dia berdiri dan menarikku-tak kasar dari bangku. Aku hanya mengikuti langkahnya. Namun aku berhenti saat dia memasuki sebuah gedung apartemen. Justin menyadarinya lalu menoleh ke belakang. Aku menatapnya penuh tanya.

"Aku berkeringat. Setidaknya aku harus membersihkan diri sebentar" jelasnya tanpa ku minta. Dengan ragu aku terus mengikutinya. Sedikit cemas aku berharap tidak Edward di sini, ya ini gedung apartemen yang sama dengan penthouse Edward.

"Tak bisakah aku menunggu di bawah saja?" Tanyaku memohon.

"Kalau begitu kau bisa menunggu di sana" senyumku lega saat Justin menunjuk sebuah sofa di lobi apartemen. Setelahnya dia menghilang dalam lift dan aku segera menuju ke sofa itu. Ku pikir ini lebih baik daripada aku harus naik bersama Justin. Saat tengah menunggu, ku dengar sebuah infotainment dari layar dekat tempat dudukku.

"Dikabarkan Angelina Jasmine McCharter akan segera melangsungkan pernikahan" begitulah headline yang tertera di televisi. Ada rasa tak percaya namun juga ada sedikit perasaan lega. But wait, siapa calon suaminya? Tiba-tiba gelisah menyerangku saat melihat seseorang memeluk pinggang Angel ditengah kerumuman paparazi, meskipun pria itu mengenakan topi dan kacamata hitamnya, tak membuatku tak mengenalnya. Hatiku mencelos saat mereka memasuki mobil yang sangat ku kenali.

"Ternyata kau suka dengan gosip macam itu?" Entah sejak kapan Justin sudah siap di sisi lain dari ku.

"Ah ti-tidak, aku hanya penasaran. Kau sudah siap? Kita akan kemana?" Aku langsung mengalihkan pembicaraan dan berjalan mendahului Justin.

"Kau tunggu saja di depan, aku akan mengambil mobil" ujarnya saat aku mencapai pintu. Aku hanya mengangguk. Tak berselang lama Justin dengan Rubicon-nya berhenti tepat di depanku. Aku segera masuk dan memasang safety-belt ku. Hingga sebuah mobil melewati mobil Justin dan berparkir di depan kami. Pun Justin tak segera melajukan mobilnya.

"Bukankah dia teman sekelasmu?" Tanya Justin saat dua orang keluar dari mobil putih itu. Sementara aku hanya bisa meremas safety-belt melihat pria itu membawa masuk orang yang dimaksud Justin.

"Bisakah kita pergi?" Tanpa menjawab pertanyaan Justin aku memintanya segera melajukan mobil dari sana setelah Edward dan Angel masuk ke dalam lobi. 

Trapped By A PervertOnde as histórias ganham vida. Descobre agora