We're Stranger

8.1K 800 50
                                    

"Papa anda mengalami kelumpuhan"

Sebuah kalimat yang membuat duniaku runtuh seketika. Cobaan apalagi Ya Tuhan. Setelah koma selama satu minggu karena kecelakaan mobil, papa kini di vonis tak bisa berjalan. Pada siapa aku harus membagi beban ini? Tentu saja tak ada. Tentu saja harus aku hadapi seorang diri.

"Are you ok?"

Tanya seseorang namun tak cukup menarik bagiku untuk mengangkat wajahku sekedar melihat orang itu. Aku hanya menggeleng. Menjelaskan kalau aku sedang tak baik-baik saja.

"Hari ini saya kehilangan mama saya. Perempuan yang sangat berharga bagi saya" ucapannya kali ini berhasil membuatku penasaran dengan pria yang entah sejak kapan ada di dekatku. Atau aku yang tak menyadari jika pria itu sudah ada di sana saat aku mendudukkan diriku?

"I'm sorry for hear that" balasku.

Ku lihat sosok pria yang nampak frustasi dengan mata berwarna memerah, mungkin habis menangis juga dan jangan lupakan dasi yang sudah tak terpasang dengan benar di lehernya. Lalu sesekali mataku menangkap gerakan tangannya yang mengusap kasar wajah dan rambutnya hingga acak-acakan.

Entah. Hatiku sesaat lupa dengan penderitaanku sendiri karena melihat pria itu tersiksa. Rasanya aku ingin memeluknya untuk sekedar menyalurkan rasa sedihnya padaku. Bahkan tanganku gatal ingin merapikan rambut dan posisi dasinya.

"Can I hug you?" Bisiknya dengan suara lirih. Aku kembali menatapnya.

"Sorry, I know we're stranger. I dont mean anything" ujarnya dengan cepat saat aku tak meresponnya. Pria itu menangkup wajahnya dengan kedua tangannya menunduk.

Mungkin karena simpatiku yang cukup besar, badanku beranjak dari tempat dudukku yang berjarak dua kursi kosong darinya. Aku berdiri di depan pria itu yang masih menutupi wajahnya. Ku dengar isakannya yang membuat tanganku reflek menepuk-nepuk pelan bahunya berniat menguatkannya. Lalu aku terkejut ketika tangannya menarik pinggangku memelukku dengan erat dengan posisiku masih berdiri di depannya yang terduduk.

Dia menyandarkan kepalanya di perutku. Tangisannya pecah saat aku membalas pelukannya. Seakan aku berkata semuanya akan baik-baik saja meskipun aku tau setelah ini tak akan kembali seperti sebelumnya.

Tak ada kata-kata yang terucap dari mulutku hingga tangisannya perlahan reda. Lalu tangannya mengurai pelukannya di tubuhku. Aku memundurkan diriku untuk memberikan ruang di antara kami. Aku merogoh sakuku, memberikan sapu tanganku untuk menghapus sisa air matanya. Setelahnya dia terkekeh membuatku kaget dan tak percaya.

"Mungkin kamu menganggap saya pria aneh dan cengeng yang menangis di pelukan orang asing" ujarnya tanpa menatapku.

"No, I'm not" balasku singkat. Aku tak berpikir seperti itu. Tak ada yang salah ketika seorang pria menangis, pun di pelukan orang yang tak di kenalnya. Lalu ku dengar deringan ponsel yang bukan berasal dari milikku.

"Sepertinya mereka akan segera membawa jenazah mama saya. Saya harus pergi" ujarnya dan beranjak meninggalkanku. Sebelum itu dia memastikan tak ada sisa air mata dan merapikan penampilannya. Baru beberapa langkah berjalan, dia berhenti dan membalikkan badannya. Menatapku.

"Terima kasih untuk pelukannya. Tapi saya harap kamu akan melupakan kejadian ini. Dan jika suatu saat kita bertemu, saya akan menghargainya jika kamu tak mengungkit hal ini" ujarnya.

Sosok itu terlihat sangat berbeda dari sosok rapuh yang beberapa waktu lalu berada di pelukanku. Dia nampak dingin. Terutama dengan tatapannya. Mungkin dia menyesal telah memperlihatkan sisi lemahnya di depan orang asing seperti ku.

"Sure" jawabku yakin.

Lalu pria itu kembali melangkah menjauh dari tempatku berdiri. Sendiri. Tidak. Aku tidak sendiri. Aku masih memiliki papa. Papa yang saat ini membutuhkanku. Aku melihat jam tanganku, ternyata aku cukup lama meninggalkan papa sejak aku bertemu dengan dokter yang menangani papa.

Perlahan kaki ku melangkah ke ruangan dimana papa berada. Seketika aku yakin bisa menghadapi semua ini. Tak ada waktu untuk menangisi kondisi papa, karena aku tau papa juga tak suka jika aku seperti ini. Aku harus bisa bangkit demi papa. Ya benar. Mungkin bukan hal mudah tapi aku harus menjalani dan melewati hal ini. Aku harus kuat. Tekadku.

Saat melewati lobi rumah sakit, aku melihat rombongan dengan peti jenazah yang akan di masukkan ke dalam ambulans. Kemudian ku lihat pria asing itu ada di barisan paling belakang dari rombongan. Tatapan kami tak sengaja kembali bertemu. Tatapannya sangat dingin. Tak ada kesedihan yang tadi ia tunjukkan padaku. Mungkinkah dia mempunyai kepribadian ganda? Entahlah. Tak ingin memikirkannya lagi aku melanjutkan langkahku menuju ke kamar papa.

"Dari mana saja nak?" Tanya papa saat aku baru saja membuka pintu kamar papa. Ternyata papa belum tidur.

"Anneth tadi cari makan pa" jawabku berbohong lalu mendekati ke arah ranjangnya.

"Tak perlu berbohong pada papa sayang" ujarnya membuatku menegang. Apa papa sudah mengetahui tentang hal itu?

"Papa bahkan sudah menduganya sejak papa sadar saat kaki papa tak bisa digerakkan" jelasnya membuatku lemas.

"Papa sudah tau?" Lirihku yang duduk di kursi di sebelah ranjang papa. Papa mengangguk.

"Papa bisa pulang dua hari lagi" tukasnya dengan mengalihkan pandangannya keluar jendela kamar.

"Tapi pa. Papa belum sembuh" balasku cepat. Papa menggeleng.

"Tidak sayang. Papa baik-baik saja. Tak akan ada perbedaan papa di rawat disini ataupun di rumah" elaknya. Aku hanya terdiam tak ingin menimpalinya.

"Isrirahatlah nak" lirih papa sebelum papa memejamkan matanya untuk tidur.

Aku bahkan tak yakin aku bisa memejamkan mataku. Pikiranku berkelana. Tentang papa. Tentang hidup yang akan aku jalani dengan kondisi papa yang seperti ini. Tentang kuliahku. Bahkan tentang pria asing itu yang tak luput menyebabkan pikiranku semakin kacau.

Setelah memastikan papa terlelap, aku memutuskan untuk keluar mencari makan karena sedari siang aku belum menyentuh makanan. Mungkin kantin rumah sakit masih buka. Aku berjalan ke arah sana. Syukurlah karena banyak orang yang masih duduk di sana dengan makanan di depannya.

Aku segera memesan makanan dan menunggu di meja kosong. Aku mengambil ponselku untuk mengecek apakah ada pesan. Benar saja.

Kamu dimana? Aku sudah pulang. Mau makan malam bersama?

Rentetan pesan dari Lauren. Pria yang saat ini mengisi hatiku. Lalu aku membalasnya.

Aku masih di rumah sakit menemani papa. Aku sedang makan di kantin sekarang.

Pesan terkirim namun sepertinya Lauren sudah tertidur karena tak ada balasan darinya sampai makananku habis. Lalu ku dengar suara televisi yang menyala di kantin. Fokusku kini teralihkan pada apa yang telivisi itu tampilkan.

Berita duka tentang meninggalnya ibu dari salah satu pengusaha muda di Sydney. Aku terperangah ketika melihat sosok yang sangat mirip dengan pria asing tadi. Meskipun nampak berpenampilan berbeda tapi aku yakin kalau pria itu adalah pria yang sama.

Dari telivisi itu disebutkan dengan jelas nama pria itu. Edward Andrew McCharter. Pikiranku melayang. McCharter? Bukankah itu perusahaan tempat Lauren bekerja? Tempat magangku juga beberapa bulan lalu. Tapi selama disana aku tak pernah melihatnya langsung.

Aku hanya berharap pria rapuh sekaligus dingin itu baik-baik saja. Meskipun tak mengenalnya, tapi tak ada salahnya aku berharap seperti itu.

....

Ada yang tertarik dengan kelanjutannya?

Jangan lupa vote dan komen ya guys ❤

Trapped By A PervertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang