39. we're done

6.7K 1.1K 326
                                    

Jantung Aryan terasa mencelos ketika mendapati banyak barang yang pecah dan bertaburan di ruang kamar El, di apartemen cowok itu. Ruangan yang didominasi warna abu-abu tua tersebut sudah tidak ada bedanya dengan kapal pecah. Berantakan. Sudah pasti pelakunya adalah pemilik kamar itu sendiri.

Dia menangkap El yang sedang ada di sudut ruangan.

"El," panggilnya lirih sambil mendekat, membuat cowok itu mengangkat kepala dan disitulah Aryan dapat melihat mata El yang memerah. Cowok itu menangis?

El terlihat begitu dingin, ada kemarahan pada diri sendiri yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

"Shena... milih pergi," ujarnya pelan, matanya kembali berkaca-kaca. "Dia... udah pergi."

Dia tak ingin banyak bertanya, apa dan bagaimana, tapi setidaknya dia tahu apa yang sedang terjadi, juga kemungkinan besar penyebabnya—Aryan tahu bahwa semuanya sudah terkuak.

"Berdiri," titah Aryan sambil menarik paksa tangan sahabatnya. "Lo—bangsat," umpat Aryan kala menemukan darah mengering di tangan cowok itu. Ada pecahan gelas di tangannya. "Jangan gini. Berdiri."

El berjalan melewati Aryan. "Biarin. Ini gak ada apa-apanya."

Aryan tahu bagaimana El sangat mencintai Shena. Dia tahu bagaimana laki-laki itu memuja Shena, berterimakasih atas kehadirannya yang menjadi penyelamat laki-laki itu saat dia tersesat dulu. Namun Aryan juga tahu, El pun tidak bisa dibenarkan. Atas apa yang terjadi antara Raline dengan El belakangan ini, atas nama jatuh pada dua hati dalam satu waktu, Aryan tidak membenarkan.

Tapi mendapati sahabat baiknya terpuruk, semakin tersesat di antara dua pilihan, kemudian ditinggal oleh sosok yang paling dicintainya, Aryan pun tahu seberapa hancur hati sahabatnya.

Aryan mengikuti El yang keluar dari kamar, berjalan ke arah dapur dan mengambil minum. Cowok itu bisa melihat tangan El yang bergetar kala memegang gelas, sebelum kemudian tidak sampai mendekatkan ke bibir, El memilih membantingnya saja.

Helaan nafas terdengar dari Aryan. Alih-alih terkejut, dia hanya mendekat.

"Goblok banget gue emang," ujar El sambil terkekeh, menertawakan kebodohan dirinya sendiri. "Dasar goblok!"

"Udah. That's enough. Lo bakal kelimpungan sendiri kalau nyokap lo tiba-tiba kesini dan nemu kaca pecah dimana-mana."

Dan belum sampai Aryan mengambilkan air minum baru untuk El, pintu depan yang tak benar-benar tertutup itu dibuka lebar, dibanting keras hingga membentur dinding. Lalu sosok Melodi masuk dengan wajah penuh amarah.

Satu tamparan mendarat di pipi El. Lagi.

Napas Melodi terengah. Matanya basah—tanda bahwa perempuan itu pun baru menangis. "Itu karena kelakuan keparat lo yang udah diluar nalar manusia!"

El mundur beberapa langkah, air matanya yang tadi sejak tadi tertahan kini jatuh lagi. Jemarinya menegang, pipinya terasa sangat panas. Tapi dia tahu dia tak layak membalas—bahkan mendebat—karena apa yang dilakukan Melodi hanyalah satu dari sekian hukuman untuknya.

"Bajingan," desis Melodi, mendorong dada kanan El seiring kata demi kata meluncur dari bibirnya. "Peduli setan sama apapun alasan lo, tapi apa yang lo lakuin ke Shena bener-bener gak bisa diampuni! Lo gak cuman selingkuhin dia, El. Lo gak cuman rusak kepercayaannya doang!"

Tapi lo juga bikin dia hamil pas kelakuan lo kayak sampah.

Kalimat itu hendak ikut keluar dari bibirnya kalau saja dia tak ingat pesan Shena.

"Jangan kasih tahu dia apapun soal kandungan gue."

Rasanya baru minggu kemarin El merasa hancur dan kalut atas kalimat Raline yang memberitahunya bahwa dia sedang hamil darah dagingnya, kemudian tadi pagi Shena meninggalkannya, membuat apartemen ini seketika terasa kosong karena barang Shena sudah diangkut entah kemana—tanpa sisa, lalu sekarang Melodi datang membuatnya kembali dihantam rasa bersalah tiada henti.

Melihat El hanya diam tanpa mengangkat kepala, Aryan langsung mendekat dan menyentuh pundak Melodi.

"Mel, udah. Dia udah tahu kesalahannya. Stop, jangan bikin makin panas."

Melodi memicing menatap Aryan. "What the fuck are you doing here?"

Aryan langsung menutup mulut. Menahan diri untuk gak mengatakan apapun karena Melodi sedang dirundung emosi.

"No way," Melodi mundur satu langkah menjauh kala Aryan mendekat, dia tertawa. "Kenapa gue baru sadar kalau lo selama ini ikut belain dia..."

"Mel, please calm down and talk, okay?" Aryan meraih tangannya yang langsung ditepis begitu saja. "Sayang, please... Please calm yourself down."

"Lo selama ini nutup-nutupin kesalahan si bajingan ini!" teriak Melodi marah. "Dan lo minta gue buat kalem aja? How could i?! Kalau bunuh orang gak dosa, gue gak segan buat bunuh—"

"Mel, shut the fuck up, can't you?! Lo keterlaluan!"

"Gue? keterlaluan? Sinting lo, Anjing. Kalau gue keterlaluan, terus temen lo ini apa?!"

"..."

"Lo tahu dia selingkuh dan lo bantuin dia—"

"Dia gak bantuin—"

El yang hendak membela Aryan langsung bungkam karena kalimatnya terpotong, Melodi menoleh ke arahnya dan mengancam untuk tidak mengatakan satu patah katapun.

Cewek itu kembali menatap Aryan dengan tangan mengepal, gemetar. "Tapi lo nutup-nutupin semuanya!" Lalu menatap El lagi dengan pandangan kecewa. "Lo gak tahu semarah apa gue sama lo. Demi Tuhan, El, gue serahin Shena ke elo karena gue mau dia bahagia setelah dikecewain Kemal. Tapi yang lo lakuin malah memperburuk..."

"Gak cuman elo," El bersuara. "Lo gak tahu semarah apa gue sama diri gue sendiri karena nyakitin Shena."

"Ya emang harusnya begitu! Lo emang seharusnya benci sama diri lo sendiri! Lo bajingan, keparat, anjing, babi—"

"Mel, stop!"

"Lo juga!" Melodi menuding Aryan. "Kenapa lo gak ngasih tahu gue dari awal?! Lo sengaja?!"

"Gue tahu batasan campur tangan ke urusan orang lain—"

"Bullshit! Siapa yang lo anggep orang lain? El? Atau gue?"

"You didn't get the point, Mel. Yang jadi poinnya sekarang adalah El tahu dia salah. Jangan lo nambah-nambahin dengan mojokin dia. Biarin dia selesaiin masalahnya sendiri."

Melodi tertawa.

Bayangan Shena dimasukkan ke mobil ambulance dengan darah yang mengalir melewati pahanya, wajah pucat dengan bibir memutih, air mata yang mengalir melalui sudut matanya bahkan ketika perempuan itu sudah pingsan, membuat Melodi merasakan jantungnya ditikam belati.

"Berapa waktu yang lo butuhin buat selesaiin masalah ini? Satu minggu? Sebulan? Setahun? Lo kira itu cukup—" suara Melodi tercekat, dia menangis. "Buat bayar apa yang lo lakuin ke temen gue? Gak, El! Sama sekali, gak! Gue gak tahu karma apa yang pantes buat lo terima karena ini," Melodi menatap getir ke arah El. "Satu yang gue minta sekarang, let her go. Gak usah lo mohon-mohon ampunan ke Shena apa lagi minta kesempatan kedua."

Melodi berjalan mundur, mengambil tasnya yang jatuh di dekat kaki Aryan, kemudian mengangkat kepala, membalas tatapan Aryan.

"We're fucking done. Gak usah lo hubungin gue lagi."

••

apartment.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang