24. ambil resiko

7.7K 1.2K 258
                                    

Sayangnya, setelah apa yang terjadi di antara El dan Shena di pantai, gak merubah status apapun di antara keduanya. Yang ada, setelah ciuman itu, mereka malah canggung satu sama lain—walaupun gak lama-lama banget sebelum mereka ngobrol kayak biasa.

Cuman, udah pasti pas mereka pulang dari pantai, pas malem dan memasuki Waktu Indonesia Bagian Overthinking, Shena jadi mikir, dong.

Kok dia mau-mauan, sih, dicium El? Mana di tempat publik lagi. Kok dia mau-mauan, sih, percaya sama kalimat laki-laki itu? Gimana kalau ini akal-akalannya El lagi kayak yang kemarin-kemarin? Gimana kalau El gak benar-benar menyukainya?

Tapi di sisi lain, Shena juga mengakui kalau belakangan El emang memperlakukan dia lebih hangat, gak kayak dulu-dulu. Dia selalu ngasih perhatian lebih, selalu memperhatikan hal-hal kecil tentang Shena, selalu menggiring topik obrolan biar mereka bisa makin deket, dan lain sebagainya.

Malam berjalan seperti biasanya. Tapi di keesokan hari, pas Shena baru setengah jam yang lalu pamitan buat ke kampus dengan dijemput Melodi, El mendengar ada suara bel apartemen. Dia kira itu Shena—karena biasanya cewek itu balik lagi karena kelupaan membawa sesuatu.

Tapi baru juga hendak menegur, El dikejutkan dengan sosok lain di depan pintu apartemen. Alih-alih kayak tebakannya, itu malah Raline.

Pertama, El panik karena khawatir kalau tadi Raline sempet papasan dengan Shena di lorong meskipun kemungkinannya kecil karena Shena udah berangkat dari tadi. Kedua, dia lagi rajin-rajinnya belajar fokus sama Shena, kenapa sepupu dia ini muncul lagi?

"Hai," Raline tersenyum manis, lalu seolah emang kayak rumah sendiri, dia mendorong El agar menyingkir dan memberinya ruang biar dia bisa lewat. "Logak ngampus?"

"Lo ngapain kesini?"

"Loh, kok pake tanya? Biasanya emang begini, kan?"

Cewek itu melepas high heelsnya lalu menaruh kaki untuk berselonjor di atas meja, di ruang tengah.

"Lo gak ngampus?" ulangnya.

"Siang. Lin, serius. Ngapain kesini, sih?"

"El, sejak kapan, deh, kalau gue kesini harus ada kepentingan?"

"Dandi kemana?"

"Di Bogor."

Sialan. El mengumpat dalam hati. Dia udah mulai muak sama sikap Raline yang kayak gini. Selalu begitu. Selalu Raline menjadikannya tempat bersinggah kalau Dandi lagi jauh.

El memutar otak buat cari alasan biar bisa ngusir Raline. Tapi karena lagi belum bisa mikir bener, dia ngasal aja.

"Gue abis ini ngampus."

"Hah? Kata lo siang?"

"Dimajuin sama dosen."

Lalu tanpa kata lagi, El masuk ke kamar dan ganti baju. Untung dia udah mandi dari tadi. Setelah ini, dia mungkin akan ke rumah Aryan aja sambil nungguin jam masuk kelasnya yang masih nanti banget itu.

El lega karena Raline gak banyak tanya. Walaupun cewek itu malah ke dapur buat membuka salah satu botol soda dan duduk santai di kursi bar.

Cantik. Raline selalu cantik bahkan hanya dengan celana rumahan dan atasan jaket ketat warna hitam. Gadis itu terlihat belum mandi, keliharan dari wajahnya yang masih polosan tanpa make up, sementara rambutnya digulung ke atas. Kalau El gak salah nebak, pasti Raline habis nginep di rumah temannya karena semalam clubbing, terus pagi-pagi mutusin buat kesini numpang sarapan. Karena biasanya emang begitu.

Tapi secantik apapun, El gak akan sungkan mengakui kalau Shena gak kalah cantik, gak kalah menarik. Kalau Raline cuman menang fisik, maka Shena menang keduanya : luar dan dalam.

apartment.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang