18. juara kedua

7.1K 1.2K 211
                                    

apa nih chapter kemaren rame bgt komennya wkw. kasian deh si El. abis disayang-sayang, tiba-tiba dihujat.

••

"Gue coba tebak," ujar El tiba-tiba seiring dengan langkah kakinya, juga langkah kaki Shena, sama-sama mengayun beriringan ke arah kantin sekolah.

"Apa?"

"Lo dulu pas masih SMA pasti famous."

Shena mengernyitkan dahi.

"Beneran. Iya, kan?"

"Gak juga, sih..."

"Bohong kalau lo bilang gitu. Dari lo masuk gerbang sekolah aja, gue udah gak bisa ngitung berapa banyak lo nerima sapaan. Mulai dari guru sampai anak SMA. Kayaknya semua pada kenal lo."

"Biasalah. Gue, kan, cantik."

El hampir menyemburkan tawanya. "Bisa pede banget gitu, ya?"

"Cuman orang buta kayaknya yang bilang gue jelek."

Kali ini, cowok itu mengangguk-anggukkan kepala setuju. "Iya, sih."

"Iya apa?"

"Lo cantik."

"Congratulations," balas Shena. "Lo resmi jadi orang ke seribu satu yang pernah bilang gitu."

El ketawa. Kini dia ikut mendudukkan pantat di samping gadis yang tengah menaruh tas di atas meja kantin. "Dapet hadiah apa gue sebagai orang ke 1001?"'

"Gue bayarin makan di Bu Gigi."

Cowok itu menyeringai geli. "Deal."

Setelahnya, mereka berdua banyak bercakap mengenai masa SMA. Walaupun gak menempuh pendidikan di sekolah yang sama, tapi rasanya alur cerita mereka hampir gak ada bedanya. Baik El dan Shena pernah jadi siswa andalan sekolah karena bakat masing-masing. El dengan jabatan ketua di tim basketnya, Shena dengan jabatan ketua di tim cheerleader-nya. Jadi gak perlu ditanya tentang popularitas mereka.

"Berarti lo pernah ditembak adik kelas duluan?"

El mengangguk sambil mencocol nasinya ke sambal. "Beberapa kali."

"Gila. Kok mereka gak malu, sih?"

"Ngapain malu? Emang cewek gak boleh nyatain perasaan duluan? Gak dosa, kali. Walaupun kodratnya cowok yang ngejar cewek, tapi bukan berarti cewek gak boleh ngelangkahin. Malahan bagi beberapa cowok, termasuk gue, nih, cewek yang mau nyatain lebih dulu itu keren. Bukan masalah gak punya harga diri. Tapi coba lo nyimpulin dari sudut pandang lain," El menyeruput es milonya sebelum melanjutkan. "Mereka mau nurunin gengsinya buat cowok yang dia suka. Gak gampang buat ngeluluh-lantakin rasa malu sebelum akhirnya berani confess. Gak semua cewek mau kayak gitu."

Shena agak terpukau, sih, sama jalan pikir El. Karena biasanya, kebanyakan cowok bakalan ilfeel kalau ada cewek mau ngejar-ngejar cowok duluan apa lagi sampai confess.

"Berarti pas lo ditembak, lo nerima?"

El nyengir. "Enggak."

"Ya elah," Shena memutar bola matanya malas. "Kasihan mereka, dong, Mail."

"Kasihan mana kalau mereka gue terima tapi gue menjalani hubungan karena terpaksa?"

"Hm, bener juga, sih."

Cowok tersebut mendorong piring kotornya menjauh. Sembari mengecek ponsel, El berujar lagi. "Kalau soal beginian, gue udah khatam, Shen. Makanya kalau lo mau belajar cinta-cintaan ke gue aja."

apartment.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang