"Alhamdulillah jangan lupa bersyukur tuh masih dikasih nafas sama Tuhan."

"Iya makasih. Ada lagi?"

"Buset berasa vidcall sama Yoona SNSD, bawaannya super sibuk banget gabisa lama-lama gitu ngobrol dulu."

"Gue lagi pengen santai, jangan ganggu."

"Hera ini kali pertama gue call-an lagi sama Lo, setelah bertahun-tahun gak saling sapa. Gue tuh ya kangen banget sama Lo, baikan dan ngobrol sama Lo saat ini aja berasa mimpi bagi gue, gue minta maaf sama Lo karena gue selalu manggil babu waktu itu karena gue lagi caper sama Lo dan--"

Tut...Tut...

Hera mematikan sambungan telepon itu dengan cepat, bukan karena malas dengan Yura. Tapi Hera adalah tipe orang yang tidak bisa bersikap manis, mendengar Yura bicara seperti tadi membuatnya merasa ada sesuatu.

"Enggak teman, keluarga bahkan cinta semua rumit. Dan ketiganya gaada yang mulus sama gue."



****

Pukul 11 siang nampak Arya baru bangun dari tidurnya, tak seperti biasanya dia yang selalu on time.

"Selamat siang, menu santap siang tuan sudah siap silahkan dimakan." Arya menatap makanan yang tersaji dimeja makan lantas detik berikutnya dia tertawa.

"Bisa masak kamu?" lontarnya pada Levi yang berada didapur dengan Appron yang melekat pada dirinya.

"Oh ya jelas dong pak, walaupun saya engga sepintar bapak tapi kalau masak saya jagonya." ucap Levi dengan begitu meyakinkan.

"Enak nih, ayo makan sama-sama." ajak Arya pada adik sulungnya.

Keduanya makan bersama, sesaat Levi menatap Arya dan merasa ada yang aneh dari kakak laki-lakinya itu.

"Gak mungkin kalau Lo nonton drakor terus nangis kan?" celetukan tiba-tiba dari Levi membuat Arya menatap adiknya.

"Apanya?" tanyanya dengan raut bingung.

"Lo kenapa?"

Arya makin bingung, kenapa apanya dia tak paham.

"Lo nangis kan? Kenapa?" tanya Levi lagi.

Alih-alih menjawab, Arya justru tertawa pelan, "iya habis nangis, kerjaan kantor benar-benar bikin mutar otak bahkan tidur aja gak bisa tenang." jawab Arya lalu melanjutkan makannya.

"Yakin cuma itu?" Arya membalas pertanyaan itu dengan mengangguk.




****

Jehan menekuk wajahnya dibalik helm yang ia pakai. Tiba-tiba saja tadi Alana datang kerumah, tentu saja hal itu membuat Dimas selaku ayah Jehan antusias dan meminta Jehan untuk mengajak Alana jalan-jalan.

"Kalau emang enggak mau, enggak usah Jehan. Kamu bisa turunin aku dimana aja, aku bakal pulang." mendengar itu Jehan justru diam tak berkutik.

"Kalau cuma karena terpaksa aku mohon turunin aku, aku--"

"Diam bisa?" Jehan menegaskan hal itu pada Alana yang terus saja meminta untuk diturunkan.

"Maaf Jehan."

Jehan dan Alana berhenti di taman, karena juga sudah sore banyak orang-orang yang duduk disana.

"Ada es krim." lirih Alana pelan ketika melihat kedai es krim.

"Jehan aku kesana bentar." ucap Alana menuju ke kedai es krim, tapi tiba-tiba Jehan menahan Alana dengan menarik tangannya.

"Gue aja yang beli, Lo tunggu disini." Jehan mengatakan itu berlalu menuju kedai es krim.

Sontak saja Alana senyum-senyum sendiri karena tanpa sadar itu adalah sikap peduli Jehan bukan?

Tak lama Jehan kembali dengan membawa dua es krim ditangannya, Alana sudah antusias untuk memakannya.

Namun melihat es krim coklat disana senyumnya luntur, "coklat ya?" ucap Alana tersenyum tipis seraya bertanya pada Jehan.

"Kenapa?" tanya Jehan balik.

"Aku gasuka coklat, bikin eneg. Tapi yaudah daripada dibuang, makasih Jehan."

"Sori, gue biasa beli rasa coklat sama Hera." baru satu sendok es krim itu masuk ke mulutnya, mendengar nama Hera disebut oleh Jehan sontak saja Alana mengerucutkan bibirnya.

"Gue masih marah sama Lo, bahkan gue kesel banget." lanjut Jehan lagi pada Alana.

"Tau kok." balas Alana.

"Gue gabisa nolak keputusan papa gue. Tapi lo harus ingat, Lo juga gabisa maksain keinginan Lo buat sama gue." tutur Jehan pada Alana lagi.

"Aku harus apa?" tanya Alana seraya menatap Jehan dari samping.

"Usaha semampu Lo, dan gue juga bakal usaha... Entah buat suka sama Lo atau gue bakal usaha untuk ngelupain Hera." Alana seketika tersedak mendengar ucapan Jehan barusan.

"Lo gapapa?" Alana mengangguk masih terus memandang Jehan.

"Aku gapapa."


****

"Tapi ibuk gapapa kan? Ada yang sakit enggak, saya liat gak ada luka tapi mungkin ada yang sakit gitu?" Hera menatap panik pada wanita parubaya yang terjatuh dari kursi rodanya.

Wanita itu tertawa pelan lalu mengusap lengan Hera.

"Enggak nak, gak ada yang sakit terimakasih ya." ucapnya pada Hera.

"Sama-sama, ibuk mau kemana? Biar saya bantu." ucap Hera.

"Mau bantu saya gimana? Kamu juga kayaknya lagi sakit ini, gapapa nak sebentar lagi anak saya kesini kok." ucap wanita itu.

"Saya tunggu kalau begitu sampai anak ibuk datang." ucap Hera.

Wanita itu menolak, namun karena Hera bersikeras akhirnya dia pasrah dan akhirnya mereka saling tukar cerita.

Saat ini Hera tengah ada dirumah sakit, untuk suatu urusan. Dan wanita parubaya didepannya ini ternyata tengah menjalani pengobatan yaitu cuci darah karena gagal ginjal.

"Sudah lama?" tanya Hera.

"Lumayan, sekarang malah tambah parah kata dokter saya cuma punya waktu kurang lebih empat bulan lagi... Tapi takdir siapa yang tau nak." ucapnya pada Hera.

"Memangnya tidak ada donor ginjal ya buk? Kemungkinan kan bisa sembuh." ucap Hera.

"Rumit, banyak yang harus disesuaikan. Ibuk juga sudah tua, apalagi yang bisa diharapkan kalau umur saya panjang."

"Ada. banyak pastinya, jangan berpikir tidak ada lagi yang ibuk bisa lakukan kalau sudah tua."

"Anak baik, orang tuamu benar-benar berhasil mendidikmu." ucap wanita itu mengelus kembali tangan Hera.

Hera tersenyum miris, bukan orang tuanya, tapi orang lain yang mendidiknya hingga bisa setegar ini.






To be continued




1. PASSING BYWhere stories live. Discover now