43 | The Moon is Beautiful, isn't it?

Start from the beginning
                                    

"Mau aku tambahin tamparan di pipi sebelahnya, nggak?" tawarnya santai yang langsung gue jawab dengan gelengan keras. "Karin terlalu baik untuk nggak bikin kamu babak belur. Kalau aku di posisi dia, minimal kamu masuk UGD."

Gue bergidik ngeri karena teringat dengan tragedi dimana dia melawan dua preman dengan tangan kosong. Membuat gue babak belur pasti bukan hal yang sulit baginya.

"Sumpah, Rafka, kamu nggak ada niatan buat ngejar Karin dan bilang maaf ke dia?" protes Alfy setelahnya. "Untuk semua hal brengsek yang kamu lakuin ke dia, kamu nggak ngerasa bersalah atas itu?"

Gue menghela napas.

• • •

ALFY

Setelah kelas psikologi umum selesai, aku dan Anna memutuskan untuk nongki cantik di kantin kampus sembari menunggu Rafka menjemputku. Laki-laki itu akhirnya punya kewarasan untuk menemui Karin dan meminta maaf pada perempuan itu. Aku tidak habis pikir kalau dia bisa sebrengsek itu sebagai laki-laki. Mengajak anak orang untuk berkomitmen lalu ditinggalkan begitu saja. Dimana kewarasannya?

"Jadi lo sama abang lo itu balikan dan ambil tes DNA?" tanya Anna sambil menikmati es krim miliknya di hadapanku. "Ternyata bener ya, manusia itu selalu bodoh dalam cinta."

"Gue ada kaca, nih," sahutku sambil merogoh pouch milikku. "Mau pinjem?"

Anna mendengus. "Oke, lo menang. Setidaknya lo bodoh cuma masalah cinta tapi akademik lo sempurna."

Sebagai pejuang toxic relationship, harusnya Anna tidak berhak mengataiku bodoh karena cinta. Dia tidak pernah menolak ketika diajak balikan oleh mantan pacarnya yang toxic itu. I mean, Rafka memang posesif, obsesif, dan keras kepala, tapi mantan Anna lebih setan dari itu. Abusif, manipulatif, main tangan, kasar, dan semua sikap buruk lainnya. Aku sekarang tidak tahu bagaimana nasib anak fakultas bahasa yang tempo hari PDKT dengannya. Apakah dia masih bernapas di dunia ini atau sudah habis babak belur oleh mantannya yang dajjal itu. Aku tidak mengerti kenapa spesies cewek cantik seperti kami ditakdirkan berurusan dengan cowok ganteng yang tidak waras.

"Tapi lo sadar nggak sih, Al? Kalau yang kalian lakuin itu sia-sia?" Anna mengungkit ketakutanku lagi. Aku mulai muak dengan kata sia-sia yang selalu orang tujukan untukku. "Mending lo berhenti disini aja, deh. Buka lembaran baru lagi, jatuh cinta lagi. Lo maunya cowok yang kayak gimana sih, Al? Ganteng? Berduit?"

Aku menyeruput matcha latte-ku dengan tenang.

"Lo pasti mau yang berduit, ya?" tebak Anna kemudian karena aku tidak kunjung menjawab.

Kepalaku menggeleng. "Gue maunya gue yang berduit," sahutku sambil melambaikan tangan pada sosok Rafka yang muncul di kejauhan. "Gue cabut duluan, ya. Bye!"

Aku langsung meninggalkan Anna yang menggerutu di tempatnya. Sepertinya sikap keras kepala Rafka sudah menular padaku. Aku seperti tuli pada semua perkataan orang lain tentangku. Setidaknya saat ini aku senang dan urusan menyesal itu soal belakangan.

"Udah ketemu sama Karin?" tanyaku setelah berada di hadapannya dan dia hanya bergumam pelan. Aku terkekeh. "Gitu dong, tanggung jawab."

Dia hanya bergumam lagi dan saat itu aku baru menyadari sesuatu di wajahnya. Aku menahan untuk tidak tertawa. "Kayaknya ada yang kena tampar lagi, nih?" ledekku.

"Sakit tau," rengeknya dengan wajah tertekuk.

Tanganku terangkat untuk mengusap pelan kedua pipinya. "Makanya jangan mainin perasaan orang. Kamu cuma sakit di pipi, orang lain sakitnya di hati. Adil nggak, tuh?"

IneffableWhere stories live. Discover now