"Kamu enggak cuma makan salad saja? Tapi itu enggak ada proteinnya," kata Bimo.

"Kata siapa?" Mel balik bertanya. "Kentang, jagung manis, dan jamur di sini mengandung protein-ya, meskipun enggak banyak, tapi masih ada proteinnya." Sambil melihat ke makanannya. "Tadinya aku mau pesan menu ikan, tapi enggak ada."

"Aku baru tahu kamu suka ikan air tawar," kata Bimo. "Enggak jijik?"

"Ya, karena aku jarang pesan ikan kalau lagi sama kamu. Biasanya Bi Inah yang memasak," jawab Mel. "Kenapa harus jijik? Ikan itu lebih sehat dari daging yang kamu makan."

"Jadi aku harus makan ikan juga?" tanya Bimo, alisnya mengerut. Seperti terlihat jijik.

"Enggak harus. Tapi ya... makanlah makanan yang beragam. Enggak itu-itu saja," jawab Mel, sambil tersenyum dan menikmati makanannya.

Bimo tersenyum, mereka kembali sibuk dengan makana mereka. Menikmati setiap suapannya. Sampai Mel tiba-tiba berkata, "Bim, apa menurut kamu, teman-teman satu tongkrongan kamu itu, memberikan dampak buruk buat kamu?"

Ekspresi wajah Bimo berubah. Sepertinya Mel salah bicara. "Maksud kamu apa?"

"Maksud aku..." kata Mel, yang sedikit ragu ingin membicarakan ini. "...Semenjak kamu ikut nongkrong di sana, kamu jadi sering tawuran, bentrok, tato. Bahkan enggak sekali dua kali wajah kamu rusak karena perkelahian."

Bimo mengeraskan rahangnya. "Intinya apa?"

"Apa enggak lebih baik kalau kamu, pindah tempat nongkrong saja?" tanya Mel, hati-hati.

Suara garpu dan pisau membentur piring terdengar nyaring. Bimo terlihat marah. Seharusnya Mel tidak mengatakan hal itu di hari-hari seperti ini. "Kamu enggak ngerti sedikit pun, apa? Teman-teman satu tongkrongan aku itu, adalah satu-satunya tempat dimana aku merasakan sesuatu yang disebut keluarga. Di sana aku merasa dianggap, aku merasa selalu didukung, di sana aku merasa enggak kesepian. Tapi kamu malah menyuruh aku pergi dari sana?"

"Terus aku, kamu sebut apa?" tanya Mel, berusaha untuk tidak ikut emosi dan tetap tenang. "Apa aku enggak kamu sebut sebagai keluarga? Apa aku enggak menganggap kamu? Apa aku enggak mendukung kamu? Apa aku masih kurang ada, buat kamu, sampai kamu masih merasa kesepian?"

Bimo menunduk ke arah makanannya. "Itu hal yang berbeda."

"Itu sama, Bim," balas Mel. "Apa, dengan nongkrong di tempat itu, kamu dapat keselamatan dan keamanan? Mereka hanya memanfaatkan kamu. Mereka seolah-olah memberikan kamu kenyamanan dan sebagainya, supaya kamu mau berkorban dan membela mereka."

"Jaga bicara kamu," geram Bimo, sambil menunjuk ke arah Mel. Untung dia tidak membentak, di sini tempat umum, mereka akan jadi tontonan publik. Apa lagi mereka seorang selebgram, cukup dikenal masyarakat.

"Tapi aku benar, kan?" tanya Mel. "Berapa kali kamu berkelahi semenjak nongkrong di sana? Seberapa sering wajah dan bagian tubuh kamu sakit atau luka-luka akibat dari tawuran? Apa itu enggak cukup membuktikan, kalau tempat tongkrongan kamu itu memberikan dampak yang buruk? Apa kamu enggak sayang diri kamu sendiri?"

"Kamu bilang kamu akan menerima segala kekurangan dan kelihatan aku, kenapa sekarang kamu begini?" tanya Bimo. "Mempertanyakan semuanya?"

"Aku cuman ingin kamu memikirkan lagi keputusan kamu." Suara Mel sedikit bergetar.

Bimo tersenyum miring, tanda mengejek. "Oh, kamu mau memakai senjata perempuan, ya?" tanya Bimo. "Kamu mau menangis, dan berkata, kamu pilih aku atau teman-teman satu tongkrongan kamu? Begitu? Iya? Atau... kamu mau berkata, kalau kamu memilih teman-teman di tongkrongan kamu, artinya kamu harus bersikap kehilangan aku. Begitu?"

Daun Pengasuh BunganyaWhere stories live. Discover now