38. Kenyataan

38 16 0
                                    

Saat bel pulang sekolah berdering, seisi kelas bersorak ria. Senang, karena ini adalah yang ditunggu-tunggu ketika sekolah, selain bel istrihat. Begitu juga dengan Shaula, ia dengan cepat memasukkan alat tulisnya ke dalam ransel.

"Sha, jangan lupa kasih tau gue." bisik Larissa. Shaula tahu apa yang dimaksud temannya itu. Iya, tentang ia yang  katanya hari ini akan bertemu dengan keluarga baru sang Ayah.

"Kalo nggak lupa," balas Shaula sembari menyandang tasnya di punggung.

Kedua remaja itu keluar bersamaan. Janus dan Maramma sudah stand by berdiri di koridor untuk menemui kekasihnya, kemudian mengajak untuk pulang bersama. Tetapi, nyatanya pikiran Shaula salah. Ia kira, Maramma seperti Janus yang langsung membawa Larissa ke parkiran.

Maramma malah ... "Kamu bisa pulang sendiri? Aku, ada kerja kelompok sekarang juga."

"Oh, iya--"

"Nggak sama Mahina, tenang aja." Maramma sudah memotong ucapannya terlebih dahulu. Tampaknya, cowok itu kuatir bahwa Shaula akan berpikiran yang tidak-tidak tentangnya.

Shaula menyadari itu. Sebuah ide terlintas dalam benaknya. Ia lantas melipat kedua tangan di depan dada. "Sekarang banget, ya? Itu, Janus masih sempat antar Larissa dulu."

"Nggak tau. Janus beda kelompok. Aku mau kelompok aku sekarang juga, biar cepat selesai terus--"

"Ya, terus kamu lebih milih itu daripada pacar sendiri? Oh, yaudah."

Terus bisa habisin waktu buat kamu tanpa mikirin tugas-tugas yang belum beres. Maramma tak sempat mengucapkannya.

"Sha," saat itu juga, tawa Shaula mengudara. Ia tidak bisa menahannya.

"Ram, memangnya muka aku kelihatan lagi marah banget, ya? Kayaknya aku cocok ikut casting."

Kening Maramma mengerut mendengar penuturan Shaula.

"Aku nggak marah. Tadi tuh, cuma bercanda. Udah sana, teman-teman kelompok pasti udah nungguin. Aku bisa pulang sendiri," ujar gadis itu.

"Ck! Yaudah, hati-hati. Jangan pulang bareng sama Elio." peringat Maramma, dengan nada tidak suka. Sepertinya, ia lupa apa yang pernah Shaula katakan waktu itu. Shaula tidak suka diatur-atur, dan jangan jadi cowok possesive.

"Kalo Elio nawarin, nggak nolak, sih. Lumayan, irit ongkos."

"Yaudah, aku antar kamu. Ayo!"

Maramma mencekal lengan kecil Shaula dan membawanya berjalan bersama ke arah parkiran. Sudut bibir Shaula terangkat, segitu menunjukkannya bahwa Maramma benar-benar sayang pada gadis itu. Namun, dengan Shaula sendiri? Ia pun tidak tahu perasaannya sekarang bagaimana.

Sesampainya di rumah, tidak banyak basa-basi lagi, Maramma langusng pamit untuk segera pergi. Shuala geleng-geleng kepala melihat tingkahnya. Maramma itu orangnya benar-benar tidak bisa ditebak!

Belum sempat membuka pintu rumah, dirasa ada yang bergetar di dalam saku. Shaula merogoh saku roknya dan mengeluarkan benda pipih.

"Hallo, Yah? Iya, Shaula udah sampai rumah."

"Syukurlah, nanti Ayah jemput jam tiga sore. Kamu siap-siapin barang-barangnya."

"Iya, Yah. Sampai jumpa nanti!"

Ia mematikan sambungan tersebut dengan senyum sumringah. Shaula menapakkan kaki di rumah yang sangat sepi. Sebentar lagi, ia akan meninggalkan rumah yang penuh kenangan ini.

"Ikut Ayah, mungkin semuanya akan lebih baik." gumam Shaula, sembari membuka pintu kamarnya.

Dilirik jam yang menempel pada dinding, menunjukan pukul 13:45. Itu artinya, masih banyak waktu. Setelah berganti pakaian, Shaula mulai melakukan apa yang diperintahkan Ayahnya. Diambilnya tas yang cukup besar, kemudian Shaula memasukkan baju-baju dan segala yang ia butuhkan.

Termasuk foto keluarga yang masih utuh. Beserta lukisan di kanvas-kanvasnya. Sepertinya, semua akan dibawa.

Shaula termenung beberapa saat, ia membawa foto satu keluarganya itu ke dalam pelukan. Satu hal yang benar-benar lupa, Shaula belum memberitahu Maramma bahwa ia mau pindah rumah.

"Nanti aja, deh."

Berkemas menghabiskan waktu kurang lebih setengah jam, indera pendengaran Shaula mendengar bunyi klakson yang menyeruak dalam telinganya. Ayah datang, menghampirinya dalam kamar. Membantu barang-barang yang Shaula bawa.

"Tenang, rumah ini biar jadi urusan Ayah."

***

Perjalanan tak kunjung sampai ke tempat yang dituju. Sudah hampir dua puluh menit, Shaula terdiam sebelum akhirnya melemparkan pertanyaan pada sang Ayah.

"Masih jauh, Yah?"

"Sebentar lagi, di depan ada gapura. Masuk komplek."

Shaula manggut-manggut, tetapi selang beberapa detik kemudian gadis itu tersadar, bahwa ia sangat tidak asing dengan jalan ini. Berpikir sebenar, sebelum akhirnya tersadar.

Ini adalah jalan ke rumah Rani.

"Komplek Archernar? Wah, dekat rumah teman aku," ucapnya.

"Teman kamu? Perempuan?"

"Iya." Ayah terdiam mendengar jawabannya.

Shaula rasanya ingin memanggil nama Rani, ketika merasakan mobil yang dikemudi Ayah-nya mendekat pada rumah itu. Apakah Rani....

Tidak, tidak. Shaula membuang pikiran itu jauh-jauh.

"Eh ... Sha, dengar ya. Kalo saudara lo cewek, pasti bakal jadi saingan lo." Ia teringat ucapan Larissa tadi pagi.

Shaula semakin penasaran ingin tahu. Jika memang benar perempuan, mungkin bukan hanya menjadi saingannya, tapi juga akan berebut mengambil hati sang Ayah, tentunya.

Berhentinya kendaraan roda empat yang ditunggangi, tiba-tiba saja degup jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Menoleh lewat kaca belakang mobil, rumah Rani terlewati.

Itu artinya memang bukan di rumah Rani.

Tapi....

"Ini, nggak salah rumah, kan, Yah?"

Ayah mengangguk tersenyum tipis. Lelaki itu meminta Shaula untuk tunggu sebentar. Ayah masuk ke dalam rumah minimalis bertingkat itu. Shaula menelan salivanya susah payah.

Beberapa detik kemudian, Ayah kembali keluar, dengan dua orang di belakangnya. Seorang wanita seumuran seperti Bunda, juga dengan remaja laki-laki berkaos hitam.

"Ayah? Ini beneran?" tanya Shaula, dengan suara gemetar.

Lagi, Ayah hanya memberikan senyuman dan merangkul putrinya tersebut, "Masuk, dulu ya? Kita bicara di dalam."

Bukan hanya Shaula saja yang terkejut, tetapi wanita itu juga. Berbeda dengan remaja laki-laki berkaos hitam yang bergeming tanpa ekspresi sedikit pun.

Shaula merunduk, kini posisinya sudah duduk di sofa yang tersedia, bersama tiga orang di hadapannya. Rambutnya yang dikuncir kuda tak dapat menyembunyikan raut wajah gadis itu meski tak terlihat sepenuhnya.

"Shaula, kenalin, ini--"

"Tante Lyra dan Elio." 

Gamma benar-benar membeku saat itu.

***

Terima kasih sudah membaca ><

Hehehe kaget tidak?

Tidak? Yaudah...

LEGIO [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang