Siji

682 43 0
                                    

"Aku tak sing ngalah , trimo mundur timbang loro ati!"

"Tak oyak o ,wong Kowe wis lali ora bakal baliiiii!"

Sebuah suara konser kelas yang lumrah di lakukan saat jam kosong memenuhi telingaku. Tak perduli suara itu sumbang atau merdu yang penting joget-joget saja. Karena tujuan dari konser ini adalah menghibur diri dari kepenatan. Lagu almarhum pakdhe Didi Kempot menjadi pilihan sepanjang masa. Lagu yang di dominasi lagu lagu ambyar khas sadgirl maupun sadboy. Sama seperti aku hari ini, gundah gulana tanpa kepastian jam pulang.

Aku melihat jengah salah satu teman laki-laki ku yang memakai taplak meja sebagai sarung dadakan. Serta gagang pel menjadi mikrofon.

Suara deru dispenser elektrik yang di pencet menandakan seseorang sedang mengambil air di galon. Lalu seorang laki laki duduk di sampingku dan membuyarkan lamunan ku tentang buku yang ku baca, lebih tepatnya hanya ku lihat gambarnya saja.

"Manahan besok, temenin binsik mau nggak?" Tawar seseorang itu padaku lalu menyerahkan botol air nya padaku.

"Jemput di rumah kalau mau," Jawabku tanpa semangat lalu meminum air yang ada di botolnya.

"Ya kalau nggak di jemput mau naik apa kamu? Sepeda onthel ke Manahan gitu?" Jawabnya lalu tertawa keras.

"Ya kali kamu mau beliin motor buat aku ha ha ha ha." Tawaku hambar lalu menelangkupkan kepala di atas meja.

Laki laki itu kembali menggangguku dengan menarik jilbab yang ku kenakan, "nanti ya kalau kamu udah jadi istri ku, mau minta Harly Davidson pun tak kasih tapi buat sekarang lebih baik bangun dan hadapi kenyataan MATEMATIKA!" Sebuah kata matematika membuat mataku terbuka sempurna,

Sialan, pelajaran yang paling aku benci itu datang di saat yang tak tepat. Seharusnya jam terakhir di isi pelajaran biologi gitu kek, apalagi bab reproduksi maka mataku akan melek sempurna.

.

"Ambalan kumpul tuh kok nggak ikut kumpul?" Tanya Setya padaku yang malah naik ke atas motornya untuk nebeng pulang.

"Terus kalau aku ikut kumpul nanti kamu mau jemput aku lagi gitu?" Dia tertawa keras dan menyalakan sepeda motornya tapi belum sampai keluar kunci sepeda motor Setya langsung di cabut oleh Cahyo, tetangga laknat itu menarik tangan ku dan menyeret ku kembali ke lapangan.

***

"Ya maaf, nggak tau aku kalau kamu sakit."

Aku hanya menghela napas dan menerima helm dari tangannya, "tadi itu kan mau kabur tapi kamu main seret seret aja."

"Maaf maaf, ke Kimia Farma dulu ya? Temui bapakku?"

Aku hanya menggeleng tanda tak mau dan kini naik di motor miliknya. Jangan di kira motor yang dimilki Cahyo itu motor motor kekinian dengan naik saja bisa membuat dosa. Tapi lihat sebuah Astrea Grand warna hitam dengan tedeng warna putih di depannya.

Motor second yang dia beli sendiri dari hasil dia menabung. Walaupun sebenarnya dia anak orang yang mampu tapi aku tak tahu, mungkin saja dia suka barang barang klasik kan?

"Eh berhenti bentar coy," Aku menepuk pundaknya keras karena teringat sesuatu.

"Ngopo?" Tanyanya setelah berhenti dan sedikit menoleh ke belakang, baju pramuka yang agak ketat itu sedikit tertarik ke belakang dan membentuk banyak lipatan.

"Pacar mu marah nggak anjir, main ajak ajak aja."

Dia mengangkat bahunya tanda tak tahu, "nggak juga, dia kan tau kalau rumah kita deketan. Dia juga tau kalau kamu nggak bisa naik motor," Ucapnya lalu tertawa pelan dan kembali melajukan motornya di jalanan Suakarta menuju rumah kami di pinggiran Sukoharjo.

GambuhWhere stories live. Discover now