15

309 16 2
                                    

Happy Reading!

Viola bergerak tak nyaman dalam tidurnya saat merasakan tubuhnya diguncang oleh seseorang. Tidak terlalu kencang, namun mampu membuat Viola sadar dari alam mimpinya. Beberapa saat kemudian matanya terbuka dengan perlahan.

"Kak Delon?" sapa Viola dengan suara serak kala melihat wajah kakak keduanya hanya berjarak sekitar lima puluh senti dari wajahnya.

"Kamu kenapa tidur di lantai, Vio? Nanti kalau kamu kedinginan gimana?" tanya Delon. Tangannya bergerak menyingkirkan beberapa helai rambut yang menghalangi mata Viola.

"Tidur di lantai?" gumam Viola. Lantas ia mengalihkan tatapannya dari sang kakak. Benar saja, ia tidur di lantai dalam posisi duduk bersandar di dinding yang bersebelahan dengan pintu. Pasti tubuhnya akan terasa pegal setelah ini.

"Pindah di ranjang aja, ya. Sini kakak bantu."

Viola mengangguk patuh, ia menerima uluran tangan Delon untuk membantunya berdiri dari posisinya saat ini. Dengan tangan saling bertautan mereka berjalan menuju ranjang yang hanya berjarak tiga meter dari posisi saat ini.

Gadis itu memposisikan duduknya senyaman mungkin, gerakannya terhenti tiba-tiba saat ia menyadari sesuatu hal. Kenapa ia bisa tidur di lantai dengan posisi duduk? Ia juga melihat wedges miliknya tergeletak di lantai begitu saja.

Seketika mata Viola memanas saat mengingat apa yang terjadi padanya. Ia akan pergi ke rumah Arsen, namun Bang Ervan melarangnya dan menguncinya di kamar, bahkan kakak pertamanya itu menyita ponsel miliknya.

"Tadi Arsen wa kakak, dia tanya kamu di mana? Katanya dia udah coba hubungin nomor kamu tapi nggak aktif. Terus kakak buru-buru pulang ke rumah, dan nemuin kamu tidur di lantai kayak gini, ditambah kamar kamu juga kekunci dari luar. Ada apa, Viola?"

Ia sudah tidak bisa menahan lelehan air matanya, apalagi mendengar suara Delon yang lembut, membuat Viola merasa sangat disayang.

Delon membawa sang adik ke dalam pelukannya. Hatinya nyeri melihat Viola sedih seperti ini, ia rindu dengan senyum ceria yang selalu Viola tunjukkan saat dia SMA dulu. Senyum yang sekarang hampir tidak pernah Viola tunjukkan kala berada di rumah.

"Nangis sepuasnya, Viola," ucap Delon sembari mengusap punggung Viola dengan penuh kasih sayang.

Delon memejamkan matanya saat merasakan bajunya basah karena air mata Viola. Ternyata sang adik menangis tanpa suara. Delon membiarkan Viola menangis di pelukannya, tidak peduli jika bajunya basah karena air mata.

"Puas-puasin nangisnya, Vi. Kakak harap ini terakhir kalinya kamu nangis kayak gini, maaf nggak bisa cegah kamu nangis," bisik Delon.

Viola melepaskan dirinya dari dekapan Delon, kemudian menggelengkan kepalanya, pertanda tidak setuju dengan ucapan Delon. Ia tidak suka dengan perkataan sang kakak yang seakan menyalahkan dirinya sendiri.

"Kakak marah sama diri kakak sendiri, kakak merasa gagal menjaga kamu dengan baik, kakak terlalu sibuk sama pekerjaan sampai lupa kalo ada kamu yang harus kakak prioritaskan juga."

"Kak Delon nggak salah," rengek Viola.

"Tapi melihat kamu nangis kayak gini aja udah bikin Kakak merasa bersalah sama kamu, seharusnya kamu nggak boleh sedih kayak gini," ucap Delon lembut. Tangannya tergerak untuk mengusap air mata yang mengalir di pipi Viola.

"Viola kayak gini juga gara-gara Bang Ervan. Bang Ervan terlalu egois! Dia nggak mikirin perasaan Viola," adunya pada Delon.

"Kenapa lagi, Viola?"

"Bang Ervan nggak bolehin Vio pergi ke rumah Arsen. Bang Ervan marah, terus paksa Vio buat masuk kamar, Bang Ervan juga ngambil tas Vio secara paksa, padahal ada hp Vio di dalam," jelasnya.

YOU ARE MINEWhere stories live. Discover now