Bab 04 ♛ The Best

91 16 2
                                    

Percayalah ada masa depan yang cerah ketika kamu disakiti, asal kamu berusaha dan berdoaBeauty and The Poor.


Kesya membatin, melihat para sahabatnya memamerkan jam tangan mahal masing-masing. Mau punya sahabat lain di SMA Mahkota, tapi saat dia dekati orang itu malah segan kepadanya. Ingin menjauhi circlenya saat ini, tapi tidak siap sendiri.

“Heran, lo kenapa diem terus, sih?” tanya Lintang tak suka.

Sepupunya Reyn kemudian menghela napas berat. “Gue, sih, oke aja kalian pamerin barang-barang mahal. Gue sama sekali gak iri apalagi dengki, karena, ya, gue masih mampu buat beli.” Ia tersenyum makin lebar kala sahabat-sahabatnya memasang ekspresi jutek. “Tapi lunasin dulu hutang yang kalian punya di salah satu sahabat baik kalian.”

Senjana meletakkan ponselnya kasar. “Maksudnya lo ngomong gitu apa? Lo udah gak nganggep kita sahabat lagi?” serunya nyolot.

“Tauk…katanya selalu ada saat susah,” imbuh Yena.

Menjadi seorang Putri harus tahan segala godaan, melatih mimik saat sedang emosi adalah hal paling utama. Maka itulah yang dipraktekkan Kesya, mendengar protesan mereka dengan kalem dan duduk elegan.

“Gue gak pernah pandang bulu setiap nagih utang orang-orang yang pinjem duit ke gue, bukan karena gue butuh uang itu. Gue cuman butuh tanggung jawab mereka yang sering bilang ‘Gue bakalan bayar secepatnya’ termasuk kalian,” ujar Kesya tenang.

Tampaknya perkataan Kesya memancing emosi mereka bertiga.

“Nah, lo, ‘kan, tajir melintir. Kenapa permasalahin uang seratus juta? Gue liat uang jajan dari Bokap lo bahkan lebih dari itu,” geram Yena.

“Oh, oke! Gue udah dapet pelajaran yang dimaksud Bibi, gue mutusin buat gak sahabatan sama kalian lagi.” Kesya berdiri, mengambil tasnya, kemudian akan menghampiri salah satu teman kelasnya yang lain, kebetulan di samping kursi dia, masih ada space kosong. “Sebelum itu, hutang kalian gue anggap lunas. Karena baru gue tau, ternyata kalian orang miskin.” Sarkasnya.

“Lo, gue mau duduk di samping lo,” terang Kesya.

“O, bo-boleh,” gagap cewek yang bernama Mentari. “Gue udah keluar dari sekte periblisan, lo santai aja,” tutur Kesya menenangkan, memang kalau diingat mantan gengnya memang serem dan ketus, sih. Pantas orang-orang pada gak nyaman.

“Karena tempat duduk kita sebelahan, sekarang kita jadi teman dekat. Jadi kita bebas buat ngobrol apa aja yang asik.”

Mentari hanya tersenyum canggung, tergolong ke dalam salah satu siswi yang pendiam membuatnya kurang pergaulan di kelas. “Kalau boleh tau, lo kenapa pisah sama mereka? Kalo lo gak mau jawab itu hak lo, kok.”

“Ibarat gelas yang pecah, persahabatan kami susah untuk direkatin balik pakek apapun itu.”

Mentari jadi tidak enak. “Padahal kita baru jadi teman, gue udah buat lo jadi murung lagi, bukannya ngehibur.”

Mendengar ucapan lirih Mentari, senyum manis mengembang di bibir Kesya. “Itu, itu yang selama ini gue cari.” Serunya senang.

“Hah, maksudnya?”

“Ketika gue ngumpul atau jalan bareng sama mereka, mereka gak pernah mau dengerin keluh kesah gue. Padahal gue cuman butuh kata penenang kayak yang lo ucapin tadi sama waktu mereka doang. Cukup dengerin curhatan gue aja, gue udah seneng. Mereka seakan-akan kalau gue curhat kek mau minta uang ke mereka.”

“Maaf, ya, Kes. Gue lagi buru-buru, nih, ada urusan.” Ucap Lintang saat Kesya ingin curhat kalau hari-harinya dirasa berat.

“Aduh…bentar lagi gue disuruh hadir diperagaan busana butik langganan gue.” Jawab Senjana ketika ia ingin berkeluh badannya sakit dan emosi yag tidak stabil karena datang bulan.

“Gak bisa, Kes. Gue sama Mama mau belanja bareng,” tolak Yena kala dirinya ingin berkata bahwa dia jatuh cinta kepada seseorang.

Tersenyum ceria, Kesya memegang tangan Mentari. “Gue harap kita bisa jadi sahabat, karena sekarang gue merasa, lo adalah orang yang tepat.”

“Tapi gue bukan anak kalangan atas kayak kalian,” jelas Mentari, dia jadi takut dianggap morotin harta atau memanfaatkan Kesya waktu berteman dengan gadis itu.

“Singkirin isi pikiran negatif lo. Orang tua, sepupu, kakek sama nenek gue, mereka ngajarin gue buat enggak membedakan status sosial di masyarakat, kalau lo ragu, wajar aja, sih, karena kalian termasuk lo sering liat perbuatan setan kumpulan gue dulu.”

Setelah itu, kabar putusnya hubungan persahabatan antara Kesya dan tiga sahabatnya tersebar ke penjuru sekolah. Dan mereka semua, kebanyakan bersyukur Putri Mahkota itu terbebas dari jeratan iblis yang nyata bentuknya.

•♛•

Reyn memandang usil ke arah cowok yang dia minta menjadi teman sebangkunya, Elno. Cowok itu melamun sambil menopang dagu.

“Kalau lo terlambat melakukan satu hal yang penting, air mata akan jatuh,” celetuk Reyn.

Elno terbangun dari lamunannya dan menatap Reyn penuh tanya, “artinya?”

“Jangan sia-siakan kesempatan yang ada, apalagi karena alesan minder.”

“Lo bahas sepupu lo, bukan?” tebak Elno telak.

Reyn nyengir seraya menggaruk kepala belakangnya, “gue gencer banget ceramahin kalian berdua, karena gue bisa melihat potensi dalam diri kalian.”

“Lo Pak Comblang?”

“Anggap aja begitu.” Reyn mengangguk. “Kalian itu, sama-sama jatuh pada pandangan pertama. Tapi masih ragu sama diri sendiri, yang satu gak bisa bedain cinta apa bukan, satu lagi minder.”

Bukan mitos, yang dikatakan Reyn adalah fakta, kalau dirinya merasa tidak pantas untuk Kesya. Masa depannya…belum tentu cerah.

“Gue emang suka sama sepupu lo, dan tadi lo udah sebutin hal yang buat gue gak maju deketin Kesya,” ringis Elno diakhir kata. Elno terkesiap, ketika Reyn memegang bahunya.

“Lo harus LAKIK! Jangan pantang menyerah.” Reyn berkata sungguh-sungguh. “Sepupu gue itu, asalnya gak pernah mandang status atau derajat orang di bawahnya. Karena salah pertemanan, dia jadi ikutan dicap kayak tiga mantan sahabatnya yang suka hina orang lain,” info Reyn.

“Lo kayak lagi promosiin sepupu sendiri,” cetus Elno. “Lagian kalo emang dia mau sama gue, orang tua Kesya pasti keberatan kalo anaknya punya pacar orang susah.”

Memang orang tua yang mana mau anak gadis yang dibesarkan dengan gemilang harta tiba-tiba ikut susah karena cowoknya?

“Kali ini lo salah lagi, Bro. Keluarga besar kami gak seperti sinetron yang lo tonton,” kekeh Reyn.

Jadi, bisakah dia mendekati Kesya Princessa, ketika saingannya adalah para pewaris tahta perusahaan keluarga?

“Akan gue coba,” putus Elno pada akhirnya, dia laki-laki dan harus berani menghadapi segala hal. Kalau nanti cewek itu memberikan sinyal untuk dia menjauh, maka dia akan berjaga jarak dengan gadis itu. Namun, jika Kesya welcome kepadanya, dia akan berusaha untuk memperjuangkan cintanya.

“Bagus, itu baru lakik,” puji Reyn memberi semangat. “Namanya cinta itu harus diperjuangkan, bukan hanya jadi omongan doang.”

Kalau benar-benar cinta, mau miskin atau kaya, perbedaan itu akan sirna karena saling menutupi kekurangan masing-masing. Meski dalam pandangan Masyarakat terkesan jomplang istilahnya.

Itulah hidup.

Beauty and The PoorWhere stories live. Discover now