Mereka yang Pernah Ada

2 0 0
                                    

This not gonna be tinder or any dating apps story. Ini tentang bagaimana kita memilih dan meyakininya, tanpa tau pasti apakah itu benar atau salah.

Masa dimana rasa penasaran mengalahkan pengendalian diri dan perasaan. Masa dimana keseruan menjalani momen remaja terasa cukup.

apakah benar cukup?

Elina selalu menghadap ke depan, berteriak lantang pada pendapatnya, mengepal keras pada keyakinannya. Meski beribu mulut di luar sana memberikan petuah emas yang kontra akan pilihannya, gadis remaja ini terus berjalan tanpa mendengarkan.

"Catet aja yang di papan tulis, materinya kita lanjut di pertemuan berikutnya." Ujar guru Sosiologi berkacamata tebal dengan rambut klimisnya.

"Harvin bolos lagi? Tadi gue lewat kelasnya, gak ada tuh orang." Tanya salah satu siswi di belakang Elina, gadis berambut pendek sebahu dengan choker neck.

Jika kalian tau siapa pria itu, perlu ditegaskan dan ditanamkan dalam ingatan. Bahwa Harvin Tumundo adalah mantan kekasih dari Elina, pasangan yang dulu membuat perhatian besar di sekolah ketika putus.

Sekitar tiga bulan lalu, tepat istarahat pertama, di kantin ketika Harvin sedang asik menikmati baksonya.

Mangkuk yang menyisakan satu butir bakso itu diambil dan ditumpahkan tepat di atas kepalanya, kuahnya membasahi bagian atas tubuh Harvin.

"Tiga kali gue tau lo cium cewek yang beda, dalam satu bulan ini." Tegas Elina di setiap tutur katanya

"Gausah teriak." Santai Harvin.

"Bodo, biar satu sekolah tau gimana brengseknya lo." Dan Elina menatap perempuan di depan Harvin. "Aruni, kelas satu kan lo? Jangan mau sama buaya empang ini. Cuma dibejek doang tete lo nanti."

Aruni yang tidak mengetahui apapun—karena Harvin yang datang menghampiri mejanya dan ikut makan bersama—terdiam melihat muka marah Elina.

"Tinggal ngomong putus apa susahnya sih." Cetus Harvin.

"Yaudah, setan emang lo." Elina menahan diri untuk tidak menampar lelaki di hadapannya dan memilih pergi.

Ketiga perempuan yang berjalan di koridor seringkali menjadi pusat perhatian karena memang menjadi siswi-siswi yang disegani. Bukan hanya akademik yang tentunya bagus, tapi penampilan cantik mereka yang bahkan perempuan lain pun bisa sirik melihatnya.

Rok span, flatshoes hitam, kaos kaki panjang menutupi betis, baju seragam yang mengatung sebatas pinggang serta rambut yang ditata sedemikian rupa.

Ralin menjadi salah satu sahabat baik Elina yang siap menjadi tameng serta pedang untuknya. Dan Talia yang siap sedia berdiri di sampingnya ketika ada masalah menerpa.

"Nerin mana sih? Tadi ada perasaan." Tanya Elina.

Satu lagi wanita yang tadi menanyakan Harvin.

Suara sepatu yang terdengar lariannya mendekati mereka. "Harvin baru dateng tuh."

Nah ini Nerin, yang selalu mengulik tentang Harvin. Bukan karena suka, tapi karena dia adiknya.

Ya kalian tidak salah baca, Nerin adalah adik tiri Harvin yang sebenarnya mereka juga tidak terlalu dekat karena tinggal di tempat berbeda. Harvin di apartemennya sendiri, sementara Nerin bersama Ibu dan Ayahnya Harvin.

Maka dari itu Nerin rajin sekali mencari tau informasi tentang Harvin agar dia lebih tau tentang sosok kakaknya itu.

"Keluarga kalian udah bareng setahun ini, dan lo masih berusaha untuk cari tau soal Harvin?" Tanya Ralin.

"Kenapa gak lo tanya aja nih si Elina, nih anak kan udah lama pacarannya sampe Uganda tiga kali ganti presiden." Sambar Talia.

"Emang lo setau itu soal Harvin, El?" Tanya Nerin

Elina terpaku, dengan wajah datarnya dan segala pemikiran di kepala. "Berapa tahun gue pacaran sama tuh anak, gak pernah sekali pun dia ngomong soal keluarga dan dirinya sendiri."

Nerin mengedikan dagu seolah 'tuh kan apa kata gue' karena semua tau sekali Harvin orang yang tertutup meskipun satu Jakarta mengenal dan berteman dengannya.

"Gue jadi keinget pas kejadian kalian putus, setelah lo cabut dari kantin dan papasan lagi pas pulang sekolah." Celetuk Talia pada Elina.

Saat itu memang sekolah mulai agak sepi karena sudah sore hari, beberapa siswa siswi sudah pulang. Hanya tersisa beberapa yang memang betah untuk sekedar duduk atau bermain di tengah lapangan, entah basket atau futsal.

Harvin yang saat itu turun dari tangga bersama teman-temannya, bertatap mata dengan Elina yang baru saja ingin menaiki tangga.

"Salah satu cewek yang jadi korban kebusukan lo nelfon gue, Winny."

"Kenapa?"

"Dia punya video kalian di club waktu itu."

Harvin tersenyum culas. "Terus?"

"Dia tau itu bakal mempengaruhi kelulusan lo nanti, ancaman Winny gak pernah bohong kan?"

"Dia mau apa?"

"Duit."

"Apa yang gue kasih kemarin kurang?"

Elina mengedikan bahunya. "Mana gue tau, lo yang nikmatin badannya kenapa tanya gue."

Baru saja Elina ingin beranjak pergi, namun tertahan oleh tangan Harvin. "Emang lo gak menikmati yang gue kasih?"

Satu tamparan keras mendarat di pipi Harvin, meninggalkan jejak kemerahan disana. Teman-teman Harvin ingin bertindak namun tidak dibiarkan olehnya.

Harvin mendekat dan menarik kerah Elina dengan kencang. "Gak usah banyak gaya disini, lo tau gue bisa apa."

"Kekuasaan lo untuk kacung-kacung lo ini, gak akan berpengaruh untuk gue."

"Lo pikir dengan kita pacaran selama ini gak menghasilkan apa-apa?" Cengir Harvin, "Gue tau lo gak akan semudah itu melupakan gue."

Elina melepaskan jeratan Harvin. "Dan gue tau lo masih haus sama badan gue kan?" Tantangnya.

Perdebatan mereka kembali menjadi perhatian termasuk teman-teman Elina yang baru saja muncul.

Segera tangan Elina ditarik. "Kita pulang aja, El." Paksa Ralin. "Dan lo, gak usah sok kecakepan jadi orang, kaki lo bau."

Seketika suasana tegang itu menjadi awkward moment karena celotehan Ralin. Ditambah kekehan dari temen-teman Harvin serta tawa kencang dari Talia.

"Baru tau gue kaki lo bau." Celetuk Talia.

Menurut mereka, suatu keajaiban dunia hubungan Harvin dan Elina berjalan lama dengan kualitas pacaran mereka yang kalian tau sendiri bagaimana.

Bahkan orang awam pun akan heran jika mengetahui mereka pacaran, karena keduanya bagai batuan keras yang saling beradu dan tak bisa hancur.

Pria dengan potongan rambut buzzcut, kulit putih khas Manado-Chinese, mata minimalis yang masih bisa dikatakan wajar juga berbadan tegap berisi datang ke sekolah dan tertangkap oleh pandangan Elina.

Seragam sekolah dengan kancing terbuka menampilkan kaus hitam di dalamnya—ciri khas Harvin—berjalan mendekat.

"Gue tau apa yang lo lakuin." Ucap Harvin.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 30, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Swipe LeftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang