21. pulang dan datang

Start from the beginning
                                    

Alana lantas mengerutkan keningnya, siapa yang barusan dibicarakan oleh Yebin pikirnya.

"Kak Era? Siapa?" tanya Alana.

"Itu loh yang sering kesini dulu... belajar sama--" ucapan Yebin terpotong ketika melihat Shena datang dan menatap Yebin seolah jangan mengatakan apapun lagi.

"Mama udah masak, apa kalian ga mau makan?" ujar Shena menatap kearah mereka.

Ayah Jehan lekas berdiri setelah menjawab ajakan Shena untuk makan.

"Alana ayo makan nak, Yebin, Jehan...," panggil Shena membuat ketiganya segera berdiri.

Alana berjalan terlebih dahulu diikuti Yebin dibelakang nya, Shena berjalan disamping Jehan dengan sedikit berbisik.

"Anak mama pasti bisa, jangan anggap permainan ini serius Jehan... Bagi mama hal itu hanya permainan mereka, perjuangin apa yang kamu anggap benar nak," ucap Shena menepuk bahu Jehan.

Jehan menatap Shena dan sedikit menyunggingkan senyumnya, hanya Shena yang paham situasi saat ini.

Shena juga demikian, dirinya paham betul apa yang tengah Jehan rasakan. Dipaksakan pada suatu hal yang tak disukai itu bukan hal mudah, namun Shena tak mampu untuk melakukan sesuatu.

"Mama!!" teriak Yebin dari meja makan.

"Yebin udah laperr!!" rengeknya.

"Sebentar!" balas Shena.



***

Hera membuka pintu rumahnya, betapa terkejutnya dirinya ketika melihat siapa yang datang malam-malam begini.

"Mamah?" hanya kata itu ketika Hera berhasil menemukan Alora didepan pintu rumah.

"Saya bisa masuk?" ucap Alora, sama seperti biasanya namun Hera mengangguk antusias.

"Hm sini mah biar Hera yang bawa koper mama," ucap Hera.

Alora tak menjawab tapi membiarkan Hera membawa koper miliknya masuk kedalam rumah, namun langkahnya terhenti.

"Saya akan tinggal disini lagi...," ujar Alora lagi-lagi membuat Hera bergeming.

"Oh iya," Alora menghentikan langkahnya ketika manik matanya bertemu dengan Hera.

Terdiam beberapa saat hingga akhirnya suatu ucapan terlontar dari mulut Alora.

"Selamat untuk peringkat kamu, saya dengar dari Arya...," ucapnya.

Hera mendongakkan kepalanya dan menatap Alora, rasa terkejut mendengar ucapan Alora barusan.

"Makasih mah," ucapnya begitu bahagia.

"Kemarikan koper saya, biar saya yang bawa ke kamar," pinta Alora.

Sepeninggal Alora menuju ke kamarnya yang ada diatas, Hera pun memegang kedua pipinya. Berniat untuk menepuknya, apa ini mimpi? Sungguh, walaupun mimpi Hera tak akan masalah akan hal ini.

Puk...!

"Ini sakit... tandanya bukan mimpi, mamah beneran ngucapin Hera selamat," gumamnya dengan tersenyum lebar.

Merasa begitu bahagia hingga membuat Hera memutar tubuhnya, berjingkrak-jingkrak. Sekarang Hera paham apa yang dimaksud dengan kata 'bahagia itu sederhana bukan?' yeah Hera tau makna kata itu karena dirinya tengah merasakan hal itu.

Tanpa Hera sadar setetes cairan berwarna merah jatuh ke baju dan juga mengenai tangannya, ketika sadar Hera segera memegang hidungnya.

"Terlalu banyak belajar... sedikit bahagia, makanya sekarang mimisan lagi...," gumamnya dan segera berlari menuju toilet.

Alora menatap sekeliling kamarnya, sudah beberapa tahun yang lalu sejak dirinya memutuskan untuk tinggal disebuah perumahan terpisah dari Hera, kini dirinya kembali lagi kerumah ini. Cukup berat dan sulit bagi Alora, karena terlalu banyak luka disini.

Kilasan masa lalu terus menghantuinya, membuat dirinya trauma akan suatu hal. Hingga Hera lah yang harus menanggung semuanya.

"Kembali kerumah, tapi tidak dengan anak itu Alora!"

Alora yang sempat tertunduk tak berdaya lantas mendongakkan tatapannya, menatap seorang lelaki parubaya yang merupakan ayahnya.

"Dia cucu ayah... A-aku tidak bisa meninggalkannya," ucap Alora bergetar menahan tangis.

"Baik... Tetap bersama anakmu Alora, tapi jangan pernah tunjukkan wajah kamu didepan saya lagi!" tegasnya membuat Alora sontak menggeleng menolak.

"Ayah... untuk kali ini bantu aku, biarkan anakku hidup... Selamatkan dia ayah, aku berjanji padamu, dia tak akan dikenali sebagai anakku... Selamanya," ucap Alora pasrah dihadapan ayahnya.

"Bangun anakku... Kau satu-satunya keturunan keluarga kami, begitu banyak harapan ku padamu, jika seluruh orang tau bahwa kau mempunyai anak di usia semuda ini apa akibat yang akan terjadi pada bisnis kita? Karirmu? Pikirkan hal itu nak... Anak itu hanya akan menjadi kekacauan untuk mu dan keluarga kita...," jelasnya membuat Alora tak mampu untuk berkata satu kata pun.

Napasnya bahkan tercekat seolah begitu banyak orang yang tengah mencekiknya, apa anaknya sebegitu hinanya untuk orang-orang.

Alora terduduk dilantai kamarnya, menyenderkan bahunya pada kasur besar miliknya. Rasa sesak di dada nya begitu sangat sakit, setiap kali melihat Hera, dirinya selalu saja dihantui perkataan orang tua Alora. Bahkan saat orang tua Alora meninggal beberapa tahun yang lalu.

"Saya marah... Saya pantas untuk dibenci oleh semua orang...," lirihnya.

"Hukuman apa lagi yang akan diterima selanjutnya...,"





To be continued


Musim hujan ya? Bawaannya pengen tidur aja deh.

LANJUT!

1. PASSING BYWhere stories live. Discover now