Keputusan

81 17 4
                                    

Sebuah kilas balik menyerang pikiran Jeha di detik-detik yang sangat cepat. Pandangannya yang kabur dan bergoyang melihat dirinya berjalan menuju sebuah tempat penyewaan video game, lalu dia diarahkan menuju lantai tujuh bangunan itu. Disana dia melihat seorang kakek tua yang kurus terbaring di salah satu kapsul dengan tutup transparan dan alat-alat yang tertempel di sekitar kepalanya.

Dan yang paling membuatnya terkejut adalah wajah kakek kurus itu...

"Kau!"

Kilas balik itu membuat Jeha sangat marah. Dia menodongkan pistol yang sedari awal diselipkannya di jeans belakangnya ke arah Master. "Dasar kakek tua yang punya khayalan menjijikan! Rasakan ini!"

Dor! Peluru meluncur cepat dan tepat mengenai dahi Master si kakek tua tambun yang jahat. Saat semua pengawal di ruangan itu kaget dengan peristiwa yang berlangsung cepat di hadapan mereka--sebelum para pengawal itu sempat menembak balik Jeha--Jeha yang ingatannya agak kembali langsung dengan cepat menembak Taehyung--yang lemas di lantai dengan cambukan menghiasi punggung dan dadanya--tepat di bagian dada.

Dor! Dor! Dor!

Tiga orang di ruangan ini tewas seketika. Atau bisa kita sebut mereka kembali ke dunia asal mereka dengan membawa rasa sakit fisik yang mudah pudar.

_____________________

Sebuah ruangan yang dipenuhi alat-alat canggih ramai dipenuhi perdebatan antar profesor. Mereka memperdebatkan dua orang yang bangun secara bersamaan. Seorang kakek tua kurus dan  seorang anak muda.

Dua orang yang sedang jadi bahan perdebatan itu malah saling melotot satu sama lain. Semua hal yang telah mereka alami dalam alam mimpi rekayasa ternyata tidak dapat dilupakan.

"Padahal tidak ada penonton yang memasukkan adegan itu ke dalam voting dan tentunya tidak ada voting yang masuk. Bagaimana bisa?"

"Berarti sistem kita masih memiliki kekurangan di sisi ini. Bahwa aktor-aktor di dalam film buatan kita masih bisa berpikir di luar perintah saat ada pemicunya," celetuk Profesor lainnya yang berkacamata tebal.

Seorang Profesor lainnya lagi dengan rambut merah menyala terlihat sangat kesal dan mengacak-acak rambutnya. "Sial!  Apa ini ulah BigHit?"

Semua orang menoleh pada Profesor itu. "Apakah mungkin?"

Profesor rambut merah itu berjalan cepat ke anak muda yang masih menunjukkan wajah tak ramah pada kakek tua. "Apa ada yang memberitahumu tentang dunia ini?"

Anak muda itu bangkit dari duduknya dan berlagak menantang Si Profesor. "Justru harusnya aku yang bertanya disini? Semua hal ini jelas berbeda dengan yang kalian tulis di surat perjanjian! Saya bisa melaporkan kalian ke polisi!"

Profesor rambut merah geram sekali. Dia tidak bisa menahan tangannya untuk tidak memukul wajah si anak muda. Semua yang ada di ruangan itu terkejut.

"Siapa kamu mau mengancam kami! Polisi akan berpihak pada kami. Lagipula isi surat perjanjian di bagian mana yang tidak sesuai!"

Anak muda yang pipinya memerah itu merogoh kantong celananya dengan tidak sabaran. Dia mengeluarkan sebuah kertas yang dilipat jadi empat, membuka lipatannya dan menunjukkan isinya ke hadapan wajah Profesor berambut merah. "Disini jelas tertulis bahwa permainan ini tidak akan mencelakai setiap pemain. Tapi aku bisa merasakan sakit dan kelamnya di dalam sana sampai sekarang!"

Profesor culas itu tersenyum sombong. "Tapi buktinya kamu masih hidup dan tidak terluka fisik kan sekarang? Kamu jelas tidak bisa melaporkan apapun ke polisi!"

Anak muda yang bukan lain adalah Jeha terdiam sejenak sebelum bersuara kembali. "Benar saya tidak terluka fisik. Tapi mentalku terluka! Bayangkan, di dalam sana rasanya seperti bertahun-tahun, hidup terbatas bersama kakek laknat yang miskin, lalu dijual kepada kakek mesum dan dipakai olehnya selama puluhan kali! Sekarang rasanya jiwaku hancur! Saya ini seorang lelaki! Rasanya saya seperti tidak punya harga diri di dalam sana!"

"Tapi itu semua hanya mimpi! Tidak sungguhan terjadi!"

Kakek kurus yang sedari tadi diam memperhatikan perdebatan ini pun bangkit dan menghampiri Profesor berambut merah. "Maaf menyela ya. Saya ingin segera mendapatkan bayaran yang dijanjikan dan segera pergi dari tempat ini."

Jeha tiba-tiba tersulut lebih besar emosinya. Dia menarik kerah baju Si kakek. "Apa katamu?! Setelah semua yang kau lakukan di dalam sana, kau mau kabur begitu saja?!"

Kakek itu menepis tangan Jeha dengan keras. "Aku mengikuti peraturan permainan. Dan aku tidak salah, itu hanya ruang mimpi. Yang kebutuhkan sekarang adalah uang."

Lalu Kakek itu pergi bersama seorang Profesor berkacamata tebal.

Jeha tidak bisa berkutik. Benar, sejak awal ini hanya permainan. Tapi dia merasa ini tetaplah salah dan jangan sampai ada korban-korban selanjutnya.

Aku harus melakukan sesuatu.

________________

Our Adventure (BTS as Children)Where stories live. Discover now