08

692 156 48
                                    

Bab 8

.

⚠️ Violence

.


Jam 1 malam ketika Angelia terbangun dari tidurnya karena terganggu dengan elusan pelan di pipinya.

"Kamu sudah bangun, sayang?"

Angelia beringsut, semakin menekan tubuhnya ke kasur yang sama sekali tidak berguna.

"Lihat Mama bawa apa buat kamu?"

Benda yang di pegang Maria itu terlihat mengkilap lantaran terkena sinar lampu yang masuk lewat celah kisi-kisi jendela kamarnya yang tertutupi gorden coklat.

Angelia tidak bisa melihat dengan jelas wajah Maria karena kondisi kamarnya yang gelap, tetapi yang pasti sesuatu yang buruk akan segera menghampirinya.

"Kamu selalu pengen main sama Mama kan?"

Kali ini Maria mengelus rambut Angelia dengan lembut, sebelum kemudian berubah menjadi cengkraman kasar.

"Akh."

Maria menarik rambut Angelia hingga kapala Angelia terangkat dari kasurnya, berdekatan dengan wajah Maria yang bisa Angelia lihat sekarang.

Wajah itu tengah tersenyum, tetapi Angelia bersumpah bahwa dia lebih baik tidak pernah menyaksikan Mamanya yang tersenyum.

"Ma, lepas."

Ada hening setelah rintihan itu terdengar, sebelum setelahnya suara tawa memantul ke dinding, mengirimkan atmosfer menegangkan dalam diri Angelia.

"Lepas? Bukannya seperti ini cara main kamu?"

Maria memaksa Angelia untuk duduk, masih dengan senyum yang terpatri diwajahnya.

"Ahh maaf ya Mama kasar, pasti kepala kamu sakit," Maria mengelus lagi rambut Angelia dengan pelan, semakin turun, sampai kemudian berhenti di leher Angelia.

Hal itu terjadi terlalu cepat sampai membuat Angelia terbatuk, merasakan pasokan oksigen yang tidak bisa leluasa masuk ke dalam paru-parunya.

Dia meraih tangan Maria yang masih mencekiknya dengan keras, mencoba melepas, kemudian dengan susah payah berkata, "Mmm-ma, lhephas."

"Hahahahah," lagi-lagi tawa Maria terdengar mengudara, lalu dengan cepat ekspresi nya berubah, memandang Angelia yang masih megap-megap dalam cengkraman tangannya.

"Bukannya ini yang dulu kamu lakuin ke suami saya?" Maria berkata dengan dingin, wajahnya terlihat sangat bengis hingga Angelia seperti tidak mengenalinya.

Ah, Angelia memang tidak mengenali Mama nya sendiri.

"Eng-ng-gak Mha," Angelia memberontak, yang bukannya lepas malah semakin erat sekali cekikan nya.

Lalu tiba-tiba tangan Maria berpindah, menjambak rambut bagian belakang Angelia dengan kasar "Enggak?" tanyanya penuh penekanan.

"Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri Angelia." gigi Maria terkatup erat dengan rahang mengeras, juga mata memerah ganas saat mengatakan itu.

Angelia masih ingin menarik nafasnya tadi, tetapi sesuatu yang menyesakan di dadanya seolah tidak mengijinkan.

Setetes liquid jatuh dari pelupuk mata Angelia ketika kenangan itu terulang, sudah dia katakan bahwa ketika kematian Aryo menjadi titik terendah dalam hidupnya.

KalopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang