Bab 33

4.7K 353 1
                                    

Cella POV

Gue ga bisa mengerti sama sekali. Papa seperti..... mengulur-ulur waktu! Sejak kapan Papa bersikap seperti ini? Seingat gue, Papa orang yang suka blak-blakan dan to the point ke sebuah masalah. Apa dalam waktu beberapa tahun ini ada yang merubah Papa?

Seperti sekarang, bukannya membicarakan masalah selesainya perjodohan gue dan Wilson, Papa malah mengajak Cello main catur!

"Pa! Kok skak mat?! Katanya Papa jago main catur?!?" Oceh Ryan ga terima karena Papa kalah dua kali.

Tapi Papa malah tersenyum dan kembali menyusun bidak-bidak catur. Mengajak Cello bermain untuk KETIGA kalinya setelah makan malam yang super tenang. Huff... Sungguh, kesabaran gue diuji di sini. Gue ingin semua cepat selesai, tapi sepertinya Papa ga mau selesai. Ada apa sebenarnya!?

Cello juga, malah terus mengikuti Papa yang sepertinya enggan bicara. Ck!

"Cukup! Sekarang Cella aja yang main lawan Cello. Kalau Cella menang, Papa ga usah nunda-nunda lagi pembicaraan serius kita. Kalau kalah, Papa boleh terusin main catur sampai puas dan ngusir Cello dari muka bumi!"

"Hah?! Lu apaan sih Cel!" Protes Cello ga terima.

"Hm... Adil juga. Kalau begitu deal!"

Gue yakin Cello melongo bodoh mendengar kesepakatan ini, tapi gue yakin kalau gue pasti menang.

"Lu lebih baik ga usah pura-pura kalah, soalnya nyawa lu terancam kalau main asal-asalan." Ancam gue sepenuh hati.

Gue bisa melihat muka Cello yang panik. Tapi biarlah, ini demi permainan serius. Dan benar saja, ini lebih seru daripada melihat Papa yang bermain sengaja kalah. Taruhannya nyawa, dan gue memeras otak hanya dengan melawan Cello.

Ck!

Setengah jam gue dan Cello berkonsentrasi pernuh. Bahkan di ruangan ini sampai terasa panas dan berasap! Permainan sungguh menegangkan dan Cello lawan yang sangat tangguh!

Bidak tinggal beberapa. Begitu juga dengan Cello. Sudah bisa dipastikan....... Seri!

"Pa...." Panggil gue saat permainan selesai.

"Ayo kita bicara. Sekarang udah jam sembilan, dan Ryan... Sebaiknya kamu tidur sekarang."

"Lohhhh?! Kok gitu?" Protes Ryan ga terima.

"Mmm ga adil ya... Tapi kalau kamu udah berumur dua puluh tahun, kamu boleh stay di sini." Kata Papa sambil manggut-manggut.

Jelas saja Ryan langsong mendengus kesal. Persyaratan Papa ga mungkin sanggup dipenuhinya. Dia masih sekolah dasar, sekalipun bisa lompat kelas tapi mana mungkin langsung lompat umur?!

"Lit... Ed... Temenin Ryan gih. Gosip atau apa gitu. Lagian, ini seriusnya pake banget." Jelas gue sekaligus dengan maksud sengaja.

"Tapi...."

"Lit! Kan boss lu itu gue. Ada boss besar juga nih! Mau ngebantah?" Ancam gue sepenuh hati.

"Ck! Rese lu! Ya udah, lagian gue juga males ikut pembicaraan yang tarik ulur urat saraf. Yuk Ryannn!"

Sebelum benar-benar pergi, gue sempat berkedip memberi kode pada Edward. Semoga dia mengerti dan memanfaatkan situasi dengan baik. SEMOGA!

Ruang bersantai ini menyisakan Papa, gue, Cello, Wilson dan Kak Marsha. Suasana langsung berubah mencekam seketika. Teh yang tersaji di meja dibiarkan terus mengepulkan asap panasnya, sementara satu pun suara belum memecah keheningan.

Huff.. Seseorang harus memulainya!

"Boleh saya yang duluan bicara?" Tanya Papa dengan sikap santai tapi ga dengan nada suaranya.

Great! Sifat Papa yang to the point sudah kembali! Setelah mendapat persetujuan dari semua orang, Papa memanggil seorang pelayan yang juga merangkap sebagai asisten pribadi Papa. Gue ingat sekali Pak Jun, seorang yang setia dan loyal pada Papa. Bahkan sepertinya dia mengabdi seumur hidup! Tapi ini ga penting dibahas sekarang.

"Ini amplopnya Tuan..."

"Terima kasih. Sekarang kamu boleh beristirahat, sudah malam."

Setelah Pak Jun pergi, Papa tersenyum penuh arti menatap kami satu per satu. Ini pasti ada sesuatu. Dan jika tebakan gue benar, artinya Papa sudah mengetahui semua hal sebelum kami bicara.

"Well well... Kapan saya bisa menerima undangan pernikahan kalian, Wil?" Tanya Papa langsung tepat sasaran.

Sudah gue duga!

"Secepetnya Om.." Jawab Wilson mantap.

"Bagus kalau begitu. Saya tunggu... Dan Cella, jangan secepat itu kamu bernafas lega. Masih ada satu lagi kabar yang sanggup membuat kalian mendapat shock therapy gratis."

Kami saling menatap satu dengan yang lain bingung. Shock therapy?

"Saya kenal Ferdian Purnama. Teman terbaik saya, dan tidak pernah sekalipun saya lupa dengan kehebatannya menyusun strategi sampai perusahaannya bersaing ketat dengan saya."

Deg.

Kalau ga salah, itu nama....

"Anda kenal dengan Papa saya?" Tanya Kak Marsha.

"Teman baik. Hanya saja, masalah ibu kalianlah yang membuat hubungan kami renggang."

"Maksud?" Tanya Cello.

"Om. Biar Cello tahu dari mulut saya sendiri..." Potong Kak Marsha cepat sebelum Papa menjawab Cello.

"Oke. Dan... Saya turut berduka. Kalian pasti belum mendapat kabarnya, tapi perlu kalian ketahui kalau Yani Purnama meninggal di penjara beberapa jam yang lalu."

"APA?!"

Ini.... Benar-benar shock therapy! Bagaimana mungkin Papa tahu hal ini sedangkan kami....

Astaga! Gue lupa kalau Papa bisa melakukan apa saja sesuka hatinya! Jangan tanya bagaimana cara dia melakukannya. Hanya dengan menyebut nama dan perusahaan saja, Papa sanggup membuat siapapun bertekuk lutut di hadapannya.

Jadi.... Ibunya Cello benar-benar sudah meninggal? Tapi kenapa??

"Bunuh diri. Dan ada surat yang dititipkan untuk Cello. Tapi sebaiknya, Marsha menjelaskan dulu duduk persoalan yang terjadi. Sudah malam, dan menginaplah... Besok pagi-pagi, kita sarapan bersama."

Papa bangkit dari kursinya, memberikan amplop tadi ke Kak Marsha lalu pergi. Meninggalkan kami dengan keheningan paling mencekam.

It won't be easy.

Marcella & MarcelloWhere stories live. Discover now