Bab 29

4.9K 387 3
                                    

Cella POV

Great!

Pagi ini gue dan Cello benar-benar ga bisa bangun pagi! Alhasil, sekarang sudah jam sepuluh dan Wilson sudah menelepon berkali-kali mencari keberadaan kami! Cuci muka, gosok gigi... Ganti baju kami seperti yang semalam.

Semua serba secepat kilat!

"Lu berdua kemana aja?! Gue sampai setengah mati ngurus masalah kemarin sama polisi. Beruntung Marsha bantu gue beri keterangan!"

"Kak Marsha?"

"Iya. Tuhhh... Entah bagaimana caranya, sekarang dia udah segar dan... Yah. Dia jauh lebih baik."

Gue bisa melihat senyuman Cello terkembang sempurna. Bahkan tanpa mendengar Wilson yang masih terus mengoceh, Cello sudah berjalan ke arah sebuah kursi roda yang menghadap ke taman rumah sakit. Mendekati Kak Marsha yang sibuk mencium aroma bunga mawar yang gue yakini pasti dari Wilson.

Ck!

Sekilas.... Hanya sekilas tapi gue yakin seratus persen. Ada sebuah cincin yang terselip di jari manis Kak Marsha. Wow!

"Gue ga menyangka lu bergerak secepet itu?!"

Sepertinya Wilson langsung tahu maksud gue. Dengan bangganya, dia memamerkan gigi-giginya yang berjejer rapi.

"Ga lama. Baru aja sebelum akhirnya gue menelepon kalian yang entah kemana!"

"Hehe... Selamat ya, dan ... Maap!"

"Thanks. Mmm... Lu berdua.... Semalem ga ngapa-ngapain kan?" Tanya Wilson curiga.

"Ya engga lah ya!"

"Terus kenapa bangunnya siang bener??!"

"Terlalu capek sama satu hari gila kemarin."

Termasuk insomnia mendadak karena tiga kata sakti! Tapi tentu saja gue ga mungkin menceritakan semua ke Wilson. Malu kali! Tapi gue yakin Wilson masih curiga, terlebih jam sebelas kami baru selesai dan menemui Wilson di taman rumah sakit. Biarkan saja Wilson penasaran, lagipula gue malas membahas yang seperti ini. Kenyataannya memang semalam gue dan Cello hanya tidur.

"Jadi, kapan kita pulang?"

"Hm... Sekarang juga boleh. Lagian, gue udah janji sama bokap lu bawa lu pulang siang ini."

"Papa.... nungguin di rumah?" Tanya gue lirih.

Jujur aja, gue masih takut buat ketemu Papa. Sekalipun Cello bilang semua sudah baik-baik aja, tapi rasanya gue ga segampang itu kenerima semuanya! Masih terasa sulit. Malah sangat sulit!

"Cel..."

"Hm?"

"Thanks udah nemenin gue ke Singapore."

"Bukannya harusnya gue yang ngomong gitu?" Tanya gue bingung.

"Ga juga. Harusnya gue... Thanks udah bikin gue akhirnya ngomong juga ke Marsha kalau gue cinta sama dia."

Gue yakin wajah bahagia Wilson ga akan bisa hilang. Nyata sekali! Dan mau tak mau, gue pun tertular.

"Sama-sama." Jawab gue.

***

"Halo?"

"Cella! Astaga, gue kira lu udah lupa sama sahabat lu yang satu ini. Dua hari ga ngabarin gue! Dasarrr.. Sebegitu terpesona dan jatuh hatinya ya sama si siapa tu? Wilson.. Iya. Sama si Wilson ya?! Sampai ke Singapore ga ngajak gue! Huh."

Aih aihhh... Lita! Ternyata memang cerewetnya ga pernah berubah. Dan ya, gue benar-benar merindukan sahabat setia gue ini!

"Hei hei... Lit. Gue udah di Jakarta kok."

"Hah? Seriusan?!"

"Yep. Lagi perjalanan ke rumah. Sama Wilson dan calon istri Wilson. Juga sama ... Cello. Ada Edward juga..." Jawab gue.

Tadi saat di bandara, Cello menelepon Edward dan menyuruhnya untuk menyiapkan mobil di bandara. Jelas saja Edward kaget dan ngomel-ngomel. Apalagi dia mendadak dikasih kabar. Tapi gue mengerti sih, kan rencananya gue bakal lama di Singapore.

Cello agak kaget kena omel sama sekretarisnya sendiri, tapi perlahan gue bantu dia beradaptasi dengan teman barunya. Hei! Gue yakin Edward itu orang yang setia sama pekerjaan, sekaligus sama teman!

Selama di pesawat gue terus mengoceh tentang apa-apa saja yang sedang terjadi di perusahaan Cello. Apa-apa saja yang berubah, termasuk Cello yang harus lebih banyak tersenyum. Dan paling penting, pertemanan dia dan Edward.

Cello juga ga kalah mendikte gue dengan semua yang dia lakukan. Kedekatannya dengan Ryan, Lita... Dan yang paling penting, bagaimana gue harus menghadapi Papa nanti.

Anggap saja gue dan Cello sudah siap dengan senjata perang kami. Tapi praktek selalu berbeda dengan teori kan?

"Gue ke rumah lu! Kita ketemuan di sana. Dan lu harus jelasin sejelas-jelasnya!"

Tentu saja!

Tak lama, mobil sudah terparkir rapi di rumah gue. Wilson dan Cello sibuk membantu Kak Marsha naik ke kursi roda, sementara Edward tanpa henti melirik gue. Hei, ada apa?

"Ya Ed?"

"Maaf tapi..." Edward berhenti sejenak, ragu dengan apa yang akan dia ucapkan selanjutnya.

Gue tersenyum. Setelah beberapa lama gue jadi Cello, sedikit banyak gue jadi kenal gerakan non-verbal Edward. Kalau seperti ini, Edward pasti segan bertanya.

"Ga usah sopan begitu. Sama Cello aja kalian seperti temenan, kenapa sama gue kayak gitu? Lagian perusahaan kita juga ga ngejalin kerja sama bisnis."

"Yahhh oke. Mmm..."

"Tanya aja!"

"Lita.... Udah punya pacar?"

Gue menaikkan sebelah alis gue ga percaya. Pertanyaan macam apa yang Edward lemparkan ke gue?

"Kenapa ga nanya orangnya langsung?"

"Yahhh...." Edward menggusap tengkuknya, bimbang sekaligus malu.

Dalam hati gue tertawa keras. Ternyata, ada rahasia yang gue dan Cello ga tahu selama kami sibuk dengan masalah kami. Sekretaris kami yang sengaja tak bertemu, juga ikut hanyut dan larut! Wah wah, Tuhan ternyata suka peribahasa sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, ya?

"Lita butuh cowok yang kuat dan tahan banting loh, dan sampai sekarang sihhhh.... Belum ada!" Kata gue sambil mengedipkan sebelah mata kepada Edward. Dan gue bisa melihat senyum lebar di wajah Edward.

Marcella & MarcelloWhere stories live. Discover now