Bab 31

4.9K 382 2
                                    

Cella POV

Jujur aja, gue kaget dengan adanya lapangan basket di halaman belakang rumah gue. Dan gue sangat yakin ini pasti kerjaan Cello! Memangnya siapa lagi yang mau repot-repot selain dia?

Tapi setelah melihat Ryan begitu senang bermain di sini, gue merasa lega. Sudah lama gue ga melihat Ryan lagi, dan ternyata tawanya sungguh membuat diriku ikut merasakan kesenangannya menikmati akhir pekan.

Tapi kelegaan gue sepertinya bertambah dengan keberadaan Papa...

Saat pertama gue melihat Papa, perasaan semua bercampur aduk. Tapi entah bagaimana, sesudah mendengar nada suara Papa yang seperti duluuuuu sekali, gue merasa berbeda. Sekarang semua terasa lebih mudah! Bahkan cara Papa berbicara dengan gue ga lagi sedingin dulu.

Lega...

Tapi itu hanya sepersekian detik, karena di depan mata gue pertandingan basket ini terasa mencekam!

Gue, Lita, Kak Marsha, bahkan Ryan hanya bisa duduk dan sesekali menahan nafas karena bola yang dilempar ke arah ring basket. Skor selalu kejar-kejaran, tapi mereka berempat seakan mempunyai skill yang sama!

Ga ada yang mau mengalah, juga ga ada yang lebih unggul!

"Ed.... Jago main basket ya?" Tanya Lita tanpa memalingkan wajahnya dari lapangan basket.

"Cello bilang sih gitu. Selain bela diri yang pasti."

Ada kilat kagum di mata Lita. Yah, sepertinya kedua sekretaris ini memang punya perasaan yang sama. Tinggal tunggu tanggal mainnya saja!

"Kak... Dukung yang mana?"

Wilson dan Cello sedang sibuk kejar-kejaran merebut bola basket sekarang. Di posisi Kak Marsha, mana yang akan dia dukung? Tunangannya yang kurang dari beberapa jam yang lalu, atau adik kesayangannya?

"Dukung yang menang donggg!"

Gue hanya bisa geleng-geleng kepala. Sungguh, jawaban yang sangat memuaskan! Ga menyangka, Kak Marsha yang selalu pasif saat gue ajak bicara adalah orang yang penuh semangat dan suka bicara! Walau belum sampai tingkat cerewet sih.

"Ryan... Dukung siapa?"

"Papa lah! Ga nyangka ya, ternyata udah berumur begitu tetap ga kalah dari yang umurnya setengah dari Papa."

Gue mengangguk setuju.

Dulu yang mengajari gue main basket pertama kali juga Papa. Sampai akhirnya gue jadi kapten dan terus main basket, itu pun karena diri gue yang ingin seperti Papa. Siapa sih yang ga kenal mantan ace tingkat nasional yang adalah Papa gue sendiri?!

Sangat membanggakan bukan? Tentu saja!

Masih seru! Bahkan sampai satu jam berlalu, masih belum ada tanda-tanda mau berhenti di antara keempat lelaki itu. Ck... Mereka ga tahu kalau matahari masih menyengat tajam dan lapangan sudah terguyur oleh keringat mereka ya?!

"Ryan... Bunyiin peluit gih. Bosen nih!"

Ryan mengangguk dan langsung membunyikan peluit yang entah dari mana. Seperti tersadar sudah menguras banyak tenaga, AKHIRNYA mereka semua berhenti.

Minuman isotonik yang sudah disediakan di atas meja samping gue pun langsung habis melewati tenggorokan empat lelaki dengan perawakan besar ini. Tak perlu dipertanyakan bagaimana bau keringat dan kulit merah mereka. Huh!

"Wil, Ed, Cel...." Panggil gue.

Ketiganya yang sedang sibuk duduk di rerumputan melepas lelah, langsung mendongak menatap gue.

"YA?" Jawab ketiganya bersamaan.

"Selamat ya, kalian bertiga membuktikan kalau kalian kalah telak dari bokap gue."

"Hah?"

Pasti mereka heran. Permainannya kan dua lawan dua, tapi kenapa ketiganya kalah? Tentu saja ada alasannya!

"Pa... Masih sanggup main ga? Cella sama Lita juga mau lawan Papa." Tanya gue yang langsung menoleh ke arah Papa.

"Wah... Ayo! Udah lama kan kita ga main? Lita juga. Yuk!"

Tuh kan? Mereka kalah telak! Tiga orang ini sudah nyaris K.O hanya satu jam bermain, tapi Papa masih sanggup meladeni gue dan Lita!

Senyum remeh langsung gue lemparkan ke ketiga cowok yang menganggap dirinya hebat. Cih! Masih terlalu cepat dua puluh tahun lagi buat mengalahkan seorang Tommy Hendrawan!

"Pa..." Panggil gue sambil mendribel bola.

"Ya Cel?"

"Setelah bertemu.... Menurut Papa, Cello bagaimana?" Tanya gue sambil mengoper bola ke arah Lita.

Hupp! Lita melompat tapi bola keduluan diambil Papa. Yahhhh! Lagi, gue mengejar Papa dan berusaha merebut bola. Sayangnya, tinggi sangat berpengaruh di sini!

Kali ini Papa yang melompat dan.... Masuk!

"Cello orang yang ...."

"Yang?"

Kali ini gue yang melakukan lompat dan shootttt! Masukkk! Skor sama! Papa masih menggantung kalimatnya dan membuat gue penasaran. Lita mengoper bola ke arah gue, dan saat gue dribel, Papa malah menghalangi dan mengajak gue mengobrol.

"Penuh rahasia dan tipe yang tidak Papa suka!"

Wusshhhh... Bola sudah direbut karena konsentrasi gue terbelah. Dan sekali lagi.... Masuk!

"Curaaanngggggg!" Teriak gue.

Papa lamgsung tertawa dan mengacak rambut gue. Ugh! Gue jadi merasa seperti dulu. Entah berapa tahun yang lalu, tapi seperti deja vu!

Entah dorongan dari mana, tapi gue langsung memeluk Papa. Sudah berapa tahun gue kehilangan sosok pahlawan sekaligus raja terkeren dan terhebat di dalam hidup gue? Tak lama, air mata gue pun mengalir deras.

I really miss my dad!

"Hei hei... Kenapa kamu nangis, sayang?!" Tanya Papa panik.

Gue cuma bisa menggeleng. Semua ini sudah lebih dari cukup dan jutaan terima kasih pun ga akan bisa membalas apa yang dilakukan Cello untuk hubungan gue dan Papa.

"I love you Pa... I love you so much!"

Marcella & MarcelloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang