Bab 24

5.2K 370 4
                                    

Cello POV

"Sejak kapan Kak Marsha sadar?" Tanya gue langsung saat pintu kamar perawatan tertutup.

"Tepat saat gue masuk, Marsha udah sadar." Jawab Wilson yang mengambil tempat duduk di bangku kosong yang ada di dekat sini.

"Dia...."

Jujur saja gue ga yakin dengan pertanyaan gue ini. Tapi kalau Kak Marsha bisa memanggil nama Cella seperti tadi, itu artinya....

"Kakak lu udah kembali. Dia sadar dan dia waras. Bahkan dia kenal gue dan mengajak gue bicara."

Mata gue melotot ga percaya. Ini beneran? Ga lagi bercanda kan? Ya Tuhan, sungguh gue sangat bersyukur kalau ini benar-benar nyata! Akhirnyaaaaaa!

"Jadi.... cewek ini siapa?"

"Eh... Mm...dia..."

"Gue Vania. Yang nyulik Cella tadi."

Kini giliran Wilson yang melotot ga percaya. Dari tatapannya, gue tau dia heran kenapa gue malah membawa Vania ke sini. Tapi bagaimana gue menjelaskannya? Vania itu dibawa, lebih tepatnya, dipaksa Cella untuk ikut ke rumah sakit!

"Cella yang bawa dia. Kalau mau nanya kenapa dia ada di sini, mending lu tanya Cella." Jawab gue malas lalu mengambil tempat duduk di samping Wilson.

"Oh... Oke. Gue Wilson, tunangan Cella." Wilson menjabat tangan Vania.

"Tunangan?"

"Iya."

Vania pasti kaget. Yah, satu kebohongan memang akan berlanjut dengan kebohongan lain. Sampai akhirnya banyak kebohongan yang tercipta! Seperti sekarang, gue jadi bingung juga bagaimana mau menjawabnya.

"Kalau lu tunangan, terus Cello siapa?" Tanya Vania polos.

"Cello itu kekasihnya Cella." Jawab Wilson.

Great! Jawaban yang sangat luar biasa, Wil! Gue yakin Vania akan semakin bingung dan pusing sendiri. Mana ada seorang cewek yang punya tunangan sekaligus kekasih di saat bersamaan? Bahkan tunangan dan kekasihnya terlihat akur!

"Ngg... Maksudnya?"

"Nanti lu juga ngerti. Yang jelas, Cella itu cewek yang baik. Hanya saja, leadaan yang memaksa jadi speerti ini." Jelas Wilson.

Sudahlah. Terserah Wilson saja!

"Wil, orang yang tadi gue pinjem mobilnya gimana?"

"Lu nyusahin gue! Tapi udah ga jadi masalah."

Gue mengangguk. "Terus... Kalo polisi?"

"Besok lu HARUS ketemu lagi sama mereka. Lagian ini berhubungan sama Marsha. Gue rasa lu cukup dewasa ga pake acara kabur-kaburan lagi kayak tadi."

"Hm..."

"Good boy!" Wilson menepuk kepala gue.

Hei! Sialan dia! Dikira gue siapa hah?!

"Van... Lu ga mau pulang aja? Atau memang ada keperluan di rumah sakit ini?" Tanya Wilson ke arah Vania yang sudah mengambil tempat duduk di samping Wilson lainnya.

"Eh... Mm... Gue mending balik. Tapi gue tunggu Cella dulu deh."

"Kalau mau balik, lu balik duluan aja. Nanti gue yang bilangin Cella." Kata gue menyahut.

Gue sadar dari nada suara gue agak menyebalkan dan sedikit ketus. Tapi rasanya gue juga ga bisa berbaik-baik dengan Vania. Padahal gue merasa gue sudah memaafkan Vania untuk kejadian yang telah berlalu. Huff...

"Eh.. Kalau gitu, gue beli kopi deh. Ga enak di sini diem-diem aja."

Sepertinya Wilson sengaja. Bahkan seenaknya dia langsung pergi tanpa berniat menanyakan apa yang mau gue dan Vania minum. Ck!

"Maaf..." Kata Vania memecah keheningan di antara kami.

"Ga ada yang perlu dima-..."

"Maaf karena ngekhianatin kamu."

Gue menghela nafas dalam. Lagi-lagi tentang masalah yang sudah lalu-lalu.

"Maaf juga udah bikin kamu muak dengan cara aku yang minta balikan..."

Huff...

"Maaf juga udah kekanak-kanakan sampai nyulik Cella. Maaf..."

"Iya... Ga usah minta maaf lagi. Semua udah berlalu dan Cella aja mau berteman sama lu."

"Thanks Cello..."

"Sama-sama."

"Mmmm.... Kamu..."

"Kalau mau nanya ya nanya aja Van. Anggap aja kita temenan. Capek juga ngehindarin kamu terus."

Sejujurnya memang capek menghindari Vania terus. Jika memang ini waktu yang diberikan untuk kami berbaikan, maka akan gue pergunakan sebaik-baiknya. Daripada nantinya menyesal.

"Kamu suka sama Cella?"

Deg.

Rasanya gue menyesal membiarkan Vania bertanya. Kalau pertanyaannya seperti ini, gue hanya bisa bungkam!

"Sekarang aku ngerti dimana lebihnya Cella dibanding aku, Cel. Dia tuan putri pemilik kerajaan bisnis Hendrawan Industry. Tapi bukan itu aja..."

Gue masih diam. Ga berniat sama sekali untuk menjawab ataupun menimpali. Apalagi menyangkal.

"Lebihnya dia yaitu memiliki perasaan kamu. Sesuatu yang udah bukan milikku lagi..."

Maksud?

Gue rasa Vania terlalu buta melihat sandiwara kami. Jelas-jelas gue dan Cella hanya bermain sandiwara. Seperti dunia ini panggungnya. Ck, apa kami begitu mendalami peran dalam berpura-pura pacaran?

"Cara kamu natap dia, cara kamu khawatirin dia, cara kamu adu mulut sama dia... Dari sana aku tau, you love her. Bukan aku lagi, Cel.."

Gue..... Hei! Gue hanya merasa...

Huff. Entahlah. Masa iya yang terlihat oleh Vania seperti itu? Nyatanya gue hanya bersikap apa adanya di depan Cella.

"Aku rasa, kalau Cella yang ada di samping kamu, pasti kamu bakal nyediain waktu buat dia sebanyak mungkin."

Yah... Mungkin karena efek dari kami sempat bertukar jiwa. Gue sendiri takut terjadi sesuatu yang mengancam, jadi gue akan selalu menyediakan waktu untuk Cella. Wajar kan? Walau, perlu gue akui, waktu yang gue sediakan lebih banyak dipergunakan untuk mendengar curhatan dan cerita kami masing-masing. Bukan masalah tukar jiwa ini.

"Aku iri... Tapi Cella lah yang kamu puja seakan-akan dia wanita satu-satunya yang ada di dunia sekarang ini."

Sepertinya memang semua orang sudah terbohongi dengan akting gue dan Cella.

"Gue ga suk-..."

"Wilson pasti kelamaan nungguin kita selesai. Lebih baik aku pamit. Kamu bisa sampaiin ke Cella kan? Malem ini aku harus pulang. Bye..." Vania memotong ucapan gue dengan cepat dan langsung pergi.

Gue bingung. Sejujurnya gue bingung. Semua ini memang membawa emosi gue ikut bermain, tapi bukan berarti gue bener-bener terjatuh ke dalamnya kan?

Saat Cella nyaris menyatakan cintanya sebelum akhirnya dia diculik, ada perasaan takut yang merayapi gue. Tapi di baliknya, juga terselip rasa deg-degan sekaligus senang bukan main. Hanya saja, ini ga seharusnya terjadi. Kata-kata Om Tommy terus terngiang di kepala gue dan .... Cella hanya terbawa dalam permainan tukar jiwa ini.

Sama seperti gue!

Ya... Kami berdua sama. Sama-sama hanyut dan larut. Jadi... Benarkah gue cinta sama Cella?

Marcella & MarcelloWhere stories live. Discover now