"Tumben terlambat?" tanya Marissa setibanya ia di kantor.

"Motorku mogok, taksi onlinenya terjebak macet." jelas Arimbi.

"Apes sekali kamu pagi ini."

Arimbi mendesah, "apesnya dari tadi malam."

"Tadi malam?" ulang Marissa.

Arimbi bersandar di punggung kursinya, "aku janjian makan malam dengan Bagas."

"Lalu?" Marissa nampak antusias dengan cerita Arimbi. Semua cerita Arimbi dengan Bagas membuatnya antusias, pasangan yang bertemu melalui aplikasi perjodohan itu membuatnya penasaran dengan ending kisah mereka nantinya.

"Aku menunggu hampir 2 jam, Bagas nggak dateng-dateng, nggak nelpon dan nggak kirim pesan."

"Astaghfirullahalazim, kenapa bisa begitu?"

"Awalnya aku berpikir yang macam-macam, lalu setelah dekian lama Bagas bilang kalau eyangnya tiba-tiba jatuh pingsan, kesehatannya sedang nggak baik." jelas Arimbi.

"Innalillahhiwaiinnailahirojiun, terus keadaan eyangnya gimana sekarang?"

"Aku nggak tahu." jawab Arimbi. Arimbi terdiam beberapa saat, "Riss," panggil Arimbi.

"Ya?"

"Aku...ingin menjenguk eyang, gimana menurutmu?" tanya Arimbi.

"Ya, nggak gimana-gimana, jenguk aja. Nanti aku temani, nggak usah khawatir." balas Marissa.

"Bener?" mata Arimbi membulat, senang.

"Iya. Motormu juga lagi di bengkel, jadi biar aku yang anter." balas Marissa.

"Makasi, Marissa sayang, lup yu." kata Arimbi sembari melempar cium jauhnya. Marissa menggelengkan kepala melihat kelakuan sahabatnya itu.

***

Sore hari, Arimbi dan Marissa pulang tepat waktu, jam 5 sore mereka sudah keluar dari kantor. Arimbi berkali-kali menghubungi Bagas, pesannya juga tidak dibalas. Ia ingin memberitahu perihal kedatangannya ke rumah putih.

"Sudah dibalas?" tanya Marissa.

Arimbi menggeleng, "Mungkin sedang sibuk, kita kesana aja langsung."

"Ya, udah. Kita mampir ke toko buah dan kue dulu." ucap Marissa.

Setelah mendapatkan buah dan kue, Arimbi dan Marissa langsung menuju rumah putih. Setelah dibukakan gerbang oleh satpam yang berjaga di depan, mobil Marissa melaju pelan ke dalam. Marissa memandang takjub oleh kemegahan dan keindahan rumah putih. Rumah yang sangat besar dengan gaya rumah keraton, dan juga ada sentuhan-sentuhan modern.

"Wow, ini ... istana." puji Marissa takjub.

"Benar, dan aku merasa sangat kecil memasuki rumah ini." balas Arimbi.

"Jangan berkecil hati." ucap Marissa.

"Sedikit, aku berharap Bagas ...." Arimbi tidak melanjutkan ucapannya, tatapannya terlempar ke luar jendela.  Ia memperhatikan beberapa burung tengah bermain di taman samping. "Aku berharap, Bagas memperjuangkanku." Iya, Arimbi sadar perasaannya pada pria itu. Ia melupakan perjanjian awalnya, ia melupakan sandiwara yang sedang mereka mainkan. Hatinya menginginkan Bagas, ia menyadari itu.

"Insyaallah, kamu akan memdapatkan yang terbaik." ucap Marissa. Pembicaraan mereka terhenti ketika Marissa selesai memarkirkan mobil. Mereka keluar dengan membawa buah tangan yang dibeli tadi. Marissa memencet bel, tak lama seorang asisten rumah tangga yang berusia sedikit lebih muda.

"Ngapunten, Mas, Mbak, cari siapa ya?" tanyanya.

"Saya Arimbi, teman Bagas, kami kemari mau menjenguk eyang, apa kami bisa masuk?" tanya Arimbi.

Blind DateWhere stories live. Discover now