Chapter 10

10.1K 634 6
                                    

Ketemu lagi nih sama author. Bosen nggak si ketemu author? Jangan bosen ya, biar dia aja yang bosan sama aku, kamu jangan. Hahaha.

Happy reading<3

Dia tidak sembuh. Namun, bukan berarti dia tak berusaha menyembuhkan lukanya. Segala macam cara dia lakukan untuk mengobati nya namun pada akhirnya luka baru lah yang kian bertambah.

Sejauh ini Pita sedang mencari kebahagiaan nya yang sempat tertunda. Dia yakin kebahagiaan itu akan dia dapat walau sekarang gadis itu juga lupa bagaimana perasaan bahagia yang sesungguhnya.

Pita bukanlah seorang gadis lemah, dia terpaksa melakukan semua apa yang di katakan orang tua nya demi mendapatkan kasih sayang keduanya lagi. Dimulai dari segala macam les yang harus dia jalani, merubah penampilan nya agar terkesan terlihat seperti laki-laki walau itu tak merubahnya sama sekali, bahkan saat di rumah dia harus mengerjakan segala hal, dia harus sempurna di mata orang tua nya.

Karena ketika dia melakukan satu kesalahan kecil pun kedua orang tuanya akan langsung memaki bahkan tak segan-segan memperlakukan nya secara tidak manusiawi.

Boneka, kata itu pantas di sematkan pada Pita. Dia hidup dalam segala macam aturan orang tuanya. dia harus mengikuti semua perintah keduanya. Sekali saja dia melanggar maka hukuman tanpa ampun akan dia dapatkan.

Pita bisa melawan kedua orang tuanya, dia bisa saja mengeluarkan semua isi hatinya kepada orang tuanya. Tapi buat apa? kalau semuanya malah menghakimi dirinya sedemikian rupa. Kalau semuanya menutup telinga ketika dia berbicara penderitaan nya.

Kenapa aku di lahir kan? kenapa mereka membiarkan aku lahir? kalau ujung ujungnya mereka malah ngebuat luka yang terus menganga. Pita seringkali bertanya pada dirinya sendiri, bahkan sebelum tertidur dia juga memikirkan dua pertanyaan yang terus berkeliaran dalam pikirannya.

"Aku nggak pantas buat bahagia ya?" Pita meringkuk di atas kasur miliknya. Kamar yang sudah mirip seperti gudang dengan pecahan vas bunga serta baju-baju yang sudah berserakan karena sang Mama, membuat suasana hatinya semakin suram.

"Kenapa pas Tuhan ambil nyawa Bang Aksa Tuhan nggak ngambil nyawa aku juga?" Air matanya tumpah, membasahi sprei merah muda dikasur.

"Aku udah nggak kuat, tapi keadaan terus maksa aku buat jadi kuat,"

"Aku cape, tapi aku nggak bisa berhenti gitu aja."

Dia lelah, bukan hanya raganya, tapi mental gadis itu pun ikut merasakan hal yang dirasakan raganya.

"Se-nggak pantes itu aku buat bahagia? se-nggak pantes itu aku berada dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sekitar ku?"

"Rasanya sakit, tapi rasa apa lagi yang pantas buat aku? nggak ada rasa yang pantas, aku seorang anak yang gagal menjadi putri untuk orang tua ku. Aku seorang adik yang gagal untuk menjaga saudaranya sendiri. Aku seorang gadis yang gagal, gagal dan gagal." Malam ini Pita terus merintih di atas kasur miliknya, tak peduli betapa banyak air mata yang tumpah, karena air mata itu adalah saksi atas kepahitan yang dia jalani.

Beringsut dari tempat tidurnya, Pita mengambil gunting, menimang nimang gunting yang berada dalam genggaman nya, kemudian menghempas secara kasar gunting itu. Itu salah. Dan dia tidak boleh melakukannya hal seperti itu sampai dia benar benar siap melakukannya nya.

Niatan bunuh diri dan self harm terus menghantui dirinya, tetapi Pita tidak bisa melakukan itu, dia ingin mencari pelarian akan tetapi, setelah menimang lagi dia tak harus melakukan ini. Ini salah!

"Aku emang nggak bisa seperti Kak Aksa. Tapi aku berusaha untuk menghidupkan sifat Kak Aksa dalam diri aku walaupun itu sulit untuk aku sendiri lakukan."

F I G U R A N  (END)Where stories live. Discover now