"Oke," jawabnya mengacungkan jempol.

Setelah lima belas menit pergi membeli es krim, lelaki tadi kembali ke tempat Ara berada. Tapi sesampainya di sana, ia tidak menemukan keberadaan Ara. Dia berusaha tenang padahal di benaknya sudah panik setengah mati. Dia pergi mencari Ara dan memanggil-manggil nama Ara.

Sial, batin lelaki itu.

Sudah hampir setengah jam tapi dia tak kunjung menemukan Ara.

"Asga?"

Lelaki tadi tersentak dan menoleh. Matanya terbelalak melihat orang yang memanggilnya. Tapi fokusnya cepat terganti ke arah anak kecil di samping orang itu.

"Ara!"

Asga berjalan mendekati mereka--Anta dan Ara--yang kebetulan entah bagaimana bisa ketemu.

"Astaga! Kayak panik nyariin kamu, kenapa tadi nggak nurut sama ucapan Kakak? Tadi Kakak bilang 'kan buat nunggu di sana, terus kenapa sekarang bisa sama Kak Anta?" Asga bertanya dengan wajah memerah. Antara marah, panik, dan lega.

Ara menunduk takut melihat wajah Asga yang seperti sedang marah. Sontak Anta memeluknya agar anak kecil itu tidak menangis.

"Udah deh, Ga. Dia hampir nangis ini," ucap Anta.

"Gue khawatir, Ta. Gue panik pas balik dia udah nggak ada. Kalau dia pergi ke tempat sepi terus diculik gimana?"

"Itu salah lo yang ninggalin anak kecil sendirian."

Asga mengerjapkan mata.

"Gue bahkan ninggalin dia di tempat khusus buat istirahat sama main anak kecil, jelas di sana rame," kata Asga.

"Kenapa harus lo tinggal? Kenapa nggak lo bawa aja?" Anta masih bertanya dan berusaha menyalahkan Asga.

"Bawa? Gue berniat baik biar Ara nggak capek bolak-balik. Kenapa nggak gue gendong? Gue habis kena insiden kemarin sore jadi gue nggak bisa gendong dia."

Anta terdiam mendengar penjelasan Asga yang rinci. Sedangkan Ara sedari tadi hanya menunduk, mungkin takut melihat Asga yang meledak-ledak.

"Masih mau nyalahin gue? Udahlah, salahin aja sekalian, ntar di rumah juga gue yang disalahin." Asga mendengus. Kesabarannya diuji.

"Ara, ayo kita pulang," ajak Asga seraya menggandeng tangan Ara.

Anta terlihat seperti khawatir ke Ara. Asga melihatnya dengan jelas.

"Nggak usah khawatir. Gue nggak bakal nyakitin sepupu gue. Perkenalan singkat, namanya Ara, dia anak tante gue, kakaknya nyokap gue," terang Asga lalu pergi menggandeng Ara tanpa pamit ke Anta.

Anta sendiri merasa seperti ada yang aneh dengan dirinya. Apa karena lelaki tengil itu tidak menjahilinya? Ah, tidak-tidak. Mana mungkin karena lelaki tengil itu.

***

Ceklek

"Eh, anak bungsu udah pulang. Mandi dulu gih, terus makan."

Sinta dan Fery sedang menonton film kartun di televisi. Anta hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Dilihatnya Rehan di tangga ingin turun.

"Dah pulang lo? Nggak nyasar, 'kan?" tanya Rehan.

"Nggak," jawab Anta singkat.

Rehan mengernyit melihat adiknya yang seperti tidak memiliki tenaga.

Ketemu si Pino kali ya? Batinnya bertanya-tanya.

Pino itu nama anjing tetangga mereka. Entah kenapa Pino sangat suka mengejar Anta ketika melihatnya. Awalnya Anta biasa saja dan tidak lari, tapi setelah kakinya hampir digigit membuatnya selalu berlari dan menghindari anjing milik tetangganya itu.

Sesampainya Anta di kamar, ia langsung menjatuhkan badannya di kasur dan berguling-guling tidak jelas.

"Gue kenapa sih?"

Dia menutup mata berusaha menghilangkan perasaan aneh yang ada di dirinya. Tapi bukannya hilang malah dia teringat dengan Asga.

Sontak Anta bangun terduduk.

"Lo kenapa sih, Prifanta? Kok malah tiba-tiba kepikiran sama cowok tengil itu sih?" gerutunya memukul-mukul pelan pipinya sendiri.

"Aaaaa Mamaaa, anakmu jadi aneh," rengek Anta kembali berguling-guling.

"Bodo amat! Mending mandi terus makan!"

Anta beranjak dari kasur dan pergi mengambil handuknya. Tapi sialnya bayang-bayang Asga di taman tadi masih belum hilang.

"Kampret!"

***

Bel masuk sekolah berbunyi nyaring membuat para murid berbondong-bondong masuk ke kelas. Masuk doang tapi nggak diem.

Di kelas 12 IPA 3, Anta melamun di tempat duduknya. Sesekali dia melirik ke samping kanannya, tempat Asga duduk. Lagi-lagi dia menghela nafas yang ternyata dilihat Gisel.

"Lo kenapa dah, Ta? Ngelamun, ngehela nafas, ngelamun, ngehela nafas, gitu terus," tanya Gisel.

Anta menoleh dengan malas.
"Nggak pa-pa, urusin Diki aja noh," katanya.

"Si kampret emang ya lo," gerutu Gisel.

Baru saja Anta ingin menjawab tapi matanya menangkap Asga yang baru datang. Sontak dia langsung menghadap ke Asga yang baru saja duduk.

"Ga," panggil Anta pelan.

Merasa tidak ada jawaban Anta kembali memanggil, "Ga."

Jangankan dijawab, noleh aja nggak!

Dengan kesal Anta menendang kursi Asga membuat yang punya kursi menoleh dan melotot.

"Apa sih nendang-nendang?" tanya Asga sewot.

"Lo dipanggil nggak nyaut," balas Anta tidak kalah sewot.

"Lo panggil-panggil doang buat apa gue nyaut?"

"Dipanggil tuh seenggaknya noleh kek!"

"Kalau gue ogah, mau apa lo?"

"Mau nendang muka lo!

"Dih?"

"Kalian berdua kenapa sih anjir?" sentak Gisel tiba-tiba.

Tadi itu Gisel lagi ngobrol sama Kinan sambil lirik-lirik ke arah Diki. Tapi kegiatannya keganggu sama dua orang yang lagi adu bacot bikin emosi Gisel naik.

Mereka berdua--Anta dan Asga--menjadi diam karena sentakan Gisel. Anta diam karena terkejut, jarang-jarang Gisel begini. Kalau Asga sih nggak tahu.

"Dia duluan dipanggil nggak nyaut," kata Anta membela diri.

Asga mengernyit kesal.

"Apa-apaan? Lo duluan yang nendang-nendang kursi gue," ujar Asga tidak terima.

Anta dan Asga saling memandang tajam.

"Jadian aja udah jadian," sahut Gilang dari samping Asga.

"OGAH!" tolak Anta dan Asga bersamaan.

Seisi kelas yang melihat itu menahan tawa mereka.

Bau-bau cinlok, batin mereka semua.

Sedangkan Gisel dan Kinan saling melempar pandangan lalu tersenyum penuh arti.

Kayaknya gua bakal pindah kapal deh, batin Kinan girang.

°°°

Fufufu jangan lupa vote, teman.
Part ini sama Anta-Asga dulu yaw!

Bye, see you next part!

So Love Triangle? (HIATUS)Where stories live. Discover now