[24]

4 0 0
                                    

Darrell benar. Secara logika, bagaimana para preman itu mengetahui segala tindak-tanduk Darrell dan kawan-kawannya untuk kemudian dijadikan bahan yang tepat di waktu yang tepat guna menuduh mereka membunuh seseorang? Teori Darrell semakin masuk akal. Namun Kaia tidak bisa begitu saja memercayainya. Salah-salah, teori Darrell justru menjerumuskan pemuda itu dalam jurang kecurigaan yang tak berdasar dari para polisi.

Hari ini Darrell kembali dipanggil ke Ruang BK. Kaia tidak lagi mengikuti, karena hari ini ia ada urusan sendiri untuk mempersiapkan diri menuju olimpiade selanjutnya.

Ruangan ekskul tampak sepi, biasanya ruangan itu diisi oleh celetukan anak-anak yang sedang berdiskusi mengerjakan soal. Kaia mengambil tempat duduk dan menunggu anak-anak lain datang. Apa gua dateng kepagian, ya? Tanyanya dalam hati sambil mengeluarkan buku-buku soal Olimpiade MIPA selanjutnya. Ia memulai dengan nomor terakhir yang ia kerjakan kemarin-nomor dua puluh empat.

.

.

.

"Soal kayak gini, nih, yang bakal keluar banyak di olimpiade," ucap gadis itu. Ia dengan semangat menjelaskan soal yang dimaksud di papan tulis. Kali ini tidak ada pendamping lagi, jadi gadis itu mengambil tempat sebagai mentor sementara. "Rumusnya kita dapet dari persamaan yang udah ditulis di soal, terus disederhanakan jadi...."

Kaia sedikit mengantuk. Gadis itu adalah kakak kelasnya, dan memang sudah berpengalaman mengikuti banyak lomba. Jujur saja Kaia bosan terus berada di ruangan yang sama, bersama lima orang yang tidak begitu ia kenal, membahas soal-soal yang akan keluar di perlombaan selanjutnya.

"Kaia? Ngantuk, ya?"

Gadis itu otomatis langsung memasang senyum dan berhenti menopang dagunya. Ia tertawa kecil sembari menjawab, "iya, nih."

"Cuci muka dulu sana. Buruan, kita mau bahas yang lain," kata gadis itu. Namanya ... entah, Kaia takut salah menyebut antara Lia atau Nia. "Soal sebelumnya udah paham belum?"

Kaia memang sudah memahami operasi komposisi dan invers dengan baik, sehingga ia tidak menemui kesulitan dalam soal-soal itu. "Udah, Kak." Ia beranjak berdiri dan berjalan sedikit sempoyongan ke kamar mandi.

Sekolah masih sepi, karena pelajaran juga sedang berlangsung di kelas. Kaia dan teman-teman lain memang harus menambah waktu latihan soal mereka sebelum olimpiade minggu depan. Lalu saat dua hari sebelum lomba, mereka akan istirahat dan sedikit bersenang-senang sebelum hari mendebarkan itu dimulai. Kaia mencuci mukanya di wastafel kamar mandi, ia melihat wajahnya yang memang terlihat sangat mengantuk. Ia tidak ingin tampak lesu di depan teman-temannya. Belakangan ini ia banyak begadang. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin gelap. Meskipun akhir-akhir ini semakin sibuk dan melelahkan, Kaia tahu jika akan ada kepuasan tersendiri di akhir. Ia tersenyum dan mengabaikan lingkaran hitam di bawah matanya itu, kemudian berjalan santai kembali ke kelas yang dikosongkan khusus untuk anak-anak yang mengikuti Olimpiade MIPA minggu depan.

Aneh, Kaia merasa sedikit lebih bersemangat.

~•••~

"Lo kelihatan capek banget," komentar Darrell. Ia meminum susu kotak di depan Kaia yang sedang berkutat dengan buku soal, bersantai tanpa beban yang berarti. "Kayaknya lo harus istirahat sebentar."

"Nggak. Tanggung. Bentar lagi juga selesai," jawab Kaia otomatis dengan kaku. Seolah telah diprogram demikian. Namun sejujurnya ia memang sangat sibuk, dan meskipun ingin bersantai ia tidak bisa. "Dua hari sebelum lomba, gue baru bisa santai."

"Lo kelihatan nyeremin banget dari sini," lanjut Darrell. Ia berdiri dan pergi menjauh. Untuk sesaat, Kaia merasa begitu lega Darrell tidak ada di sampingnya. Hanya tinggal dua soal lagi. Kaia memahami seluruh soal. Biasanya soal-soal olimpiade memang memiliki pola tersendiri, dan memahaminya sudah menjadi tugas Kaia setiap hari. Ia mengerjakan satu soal terakhir dengan terburu-buru dan menyilang jawabannya begitu cepat sampai tangannya gemetaran.

"Akhirnya selesai!" seru Kaia. Suaramya tidak keras, tapi tetap saja mengundang perhatian orang lain. Kaia melemaskan jemarinya dan meletakkan pensil di atas meja. Hari-hari sebelum olimpiade memang selalu sibuk. Kali ini juga sama. Kaia biasanya hampir tidak memiliki waktu untuk sekadar bersenang-senang bersama teman-temannya sepulang sekolah. Ia meregangkan tubuhnya dan menidurkan kepala di atas meja. Suara langkah kaki lebih jelas terdengar ketika telinganya bersentuhan dengan permukaan meja. Kemudian sebuah susu kotak ditaruh di depan wajahnya.

Kaia langsung terbangun, lalu melihat Darrell duduk lagi di depannya dengan susu kotak baru. Tangannya yang lain menaruh roti dan kue yang dibelinya dari kantin di depan Kaia. "Tuh," ucapnya.

"Apaan?"

"Buat lo lah," kata Darrell sambil menyodorkan semuanya pada Kaia. "Dimakan. Gua takut lo sakit gara-gara kebanyakan belajar."

"Ya nggak gitu-gitu amat," balas Kaia. Namun ia tetap mengambil susu kotak dingin itu dan meminumnya. Darrell tahu persis rasa susu cokelat kesukaannya. "Makasih." Kaia berkata dengan suara kecil, namun ia yakin jika Darrell akan mendengarnya.

"Iya. Sama-sama."

"Ngomong-ngomong tadi lo diajak ngomong apa aja sama guru BK?" tanya Kaia. Ia menyedot minuman yang lezat itu sembari membuka bungkus kue-kue yang dibelikan Darrell.

"Bukan guru BK. Tadi gua ketemu lagi sama dua polisi itu," jawab Darrell. Ia terlihat mengingat-ingat kejadian tadi, baru kemudian menjelaskan, "tadi gua disuruh duduk dan kata mereka, ucapan gue semua bener. Mereka berterima kasih atas kerja sama gue, terus menjelaskan firasat mereka. Katanya ... mereka yakin bakal terjadi pembunuhan lagi."

Kaia diam, serius mendengarkan.

"Gua juga yakinnya gitu. Masalahnya ini udah antara gue sama Aldo. Pokoknya ... udah tinggal kita berdua. Kalau kejadian kayak gini lagi gue malah semakin deg-degan. Gua takut sebentar lagi ... giliran gua." Darrell menatap cemas pada Kaia. Setelah mengamati dengan baik, Kaia baru sadar jika tangan Darrell memang sedikit gemetar.

Kaia menggenggam pergelangan tangan Darrell dan menatapnya tajam, seraya berkata, "jangan kayak gitu. Lo nggak bersalah, kan? Jangan takut."

Darrell melepaskan pegangan tangan Kaia. "Nggak tahu, deh. Pokoknya gue harus cari tahu sesuatu ... sesuatu yang bisa bikin gua dikeluarin dari daftar tersangka. Gimanapun caranya," ucap Darrell dengan nada mengambang, seokah bicara pada dirinya sendiri.

"Ya lo harus cari bukti dong," balas Kaia.

"Gua tahu ... tapi gue sendiri nggak bisa buktiin kalau gua bukan pelakunya," kata Darrell. Suaranya gemetar, Kaia bisa merasakan ketegangan di antara mereka. "Yang paling parah ... gua nggak akan tahu siapa korban selanjutnya. Gimana kalau itu anak kelas kita? Atau mungkin lo?"

Kaia terdiam, enggan menjawab dan menanggapi Darrell. Ia menarik nafas kemudian memberanikan diri bertanya, "kalau anaknya dari kelas lain, lo bakal nggak takut buat dihukum?"

"Mungkin. Secara, gua nggak ada motif buat bunuh mereka. Bisa-bisanya gue dituduh. Kan nggak masuk akal."

"Jadi apa yang bakal lo lakuin?"

"Terpaksa gue harus cari tahu tentang mereka."

"Siapa?"

"Preman-preman itu."

Kaia tersentak kaget. Ia hampir tersedak susu, namun untungnya tidak jadi. "Yakin?" tanya Kaia.

"Gue nggak tahu ... tapi kayaknya bakal harus," kata Darrell dengan wajah meringis. Ia tampak sangat terpaksa mengatakannya. "Gua bakap pergi lagi ke tempat preman-preman itu besok sore."

"Nggak hari ini?" tanya Kaia.

"Nggak usah, gue ada latihan piano lagi." Darrell meminum susunya buru-buru dengan tangan gemetar, kemudian saling bertemu pandang pada Kaia, saling menatap dengan pandangan yang sama-sama tidak bisa diartikan. []

Trueحيث تعيش القصص. اكتشف الآن