[22]

1 0 0
                                    

Kaia menepuk bahu Darrell. Meski tidak terlihat jelas, namun ia bisa merasakan bahwa pemuda di sebelahnya sedang sangat gugup. "Jangan bengong. Ayo masuk kelas, udah siang ini," kata Kaia. Padahal ia tahu jam masih menunjukkan pukul enam lebih lima. "Tumben lo datang pagi."

"Kenapa lo nggak ngasih tahu apa pun ke gue?" tanya Darrell menuduh. Suaranya terdengar seolah-olah ia telah dikhianati.

Kaia menghela nafas, "kalau gue kasih tahu, bisa-bisa lo tambah nggak mau pulang."

"..."

"Masalah ini harus lo selesain, kalo nggak bakal melebar kemana-mana," kata Kaia, menasihati Darrell yang terlihat bingung dan kacau. Rambutnya yang mungkin biasanya memang tidak pernah disisir sekarang semakin berantakan. Kaia tidak ingin mempermasalahkan penampilannya yang kacau, setidaknya Darrell harus menyelesaikan masalahnya sendiri.

Darrell menghela nafas, "ayo buruan masuk kelas. Gue nggak mau kelihatan anak-anak lain."

Oh, pantes datang pagi, pikir gadis itu. Ia mengikuti langkah Darrell yang terburu-buru, tidak satu pun dari mereka yang ingin bicara. Perjalanan mereka yang canggung diakhiri dengan kelas masih sangat sepi, karena kebanyakan memang datang setengah tujuh keatas. Kaia menaruh tasnya dan berinisiatif duduk di bangku depan Darrell. Ia jadi kasihan pada Darrell.

"Besok-besok datang pagi lagi. Kelas sepi kayak gini asik, kan?" mulai Kaia.

"Yah, menurut gue lebih bagus lagi kalau nggak ada yang masuk ke kelas ini," sarkas Darrell. Ia mencibir dan mengubur kepalanya di lipatan tangan.

Kaia menghela nafas dan memutar bola matanya, "iya, deh, gue minta maaf. Gua pikir orang tua lo bakal jelasin lebih enak."

"Gua kira lo nggak mau ngomong biar gue cepet pulang?" sindir Darrell, kepalanya naik saat ia menjawab dan mendecih, sebelum kembali ke posisi semula. "Dasar tukang bohong."

"Nggak usah memperburuk masalah. Kata dua polisi itu, lo bakal langsung dipanggik kepsek kalau udah masuk." Kaia bingung harus berbuat apa sekarang. Ia agak menyesali keputusannya untuk menutupi kebenaran ini dari Darrell. "Mungkin nanti lo bakal diinterogasi lagi."

Darrell menghela nafas lelah. Matanya terlihat sayu dan lesu saat ia bangkit dan duduk lemas di kursi, "gue menyesal karena pulang ke panti asuhan lo waktu itu."

"Yah, pokoknya gua doain semoga cepet selesai masalah ini," ucap Kaia, terdengar tulus.

Darrell mengangguk pasrah, kemudian dia membuka ponsel yang ia ambil dari dalam saku bajunya. Karena sedang bad mood, ada bagusnya dia bermain beberapa permainan di dalam ponsel. "Menurut lo gue bakal dicariin Aldo lagi nggak, ya?" tanya Darrell. "Berhubung dia mungkin nyesel nggak dengerin omongan gua."

"Kayaknya nggak bakal, deh. Kemarin dia ngamuk-ngamuk, mungkin dia kesal sama lo," bantah Kaia.

"Ngamuk di mana?"

"Biasalah, kantin."

Darrell menatap layar ponselnya tanpa berpaling dan turut berkomentar, "emang anak kriminal dia. Awas aja, kalau ketemu gua hajar nanti."

"Emang lo bisa? Berani tuh?" tanya Kaia sambil tertawa mendengar ancaman Darrell.

Pemuda itu menoyor ringan kepala Kaia, "ya bisa, lah. Merendahkan orang banget."

"Ya siapa tahu, kan. Lo cuma pianis, bukan anak kriminal macam Aldo," kata Kaia, masih meragukan Darrell. Sebetulnya dia agak takut jika Aldo membawa bawahan-bawahan ayahnya lagi untuk memukuli Darrell. "Lo nggak inget dia punya geng buat mukulin lo? Hati-hati."

"Tenang aja. Nggak mungkin gua kalah dari orang kayak gitu," balas Darrell sambil tersenyum kecil. Kaia terkekeh, akhirnya temannya yang ceroboh itu kembali tersenyum.

TrueWhere stories live. Discover now