[05]

5 1 1
                                    

Suara itu sebenarnya terdengar memuaskan di telinga setiap orang, meski membuat tubuh langsung lemas ketika melihat benda-benda itu berbunyi. Umpatan beruntun terdengar dari rak seberang, membuat Kaia berjalan ke sana dan menemukan orang yang sejak tadi dia cari-cari. "Nah, mau gua bantuin?" tanya Kaia sambil menyandar di rak buku dan menyilangkan lengan.

Di depannya, Darrell membungkuk untuk mengambil buku-buku yang menjadi sumber bunyi berisik di perpustakaan ini. Pemuda itu mendongak dan memperlihatkan tatapan penuh kemarahan di balik ekspresi normalnya dan berkata dingin, "terserah." Ia mengambil setiap buku seolah-olah memiliki dendam pribadi pada mereka.

"Lo bikin ribut di perpustakaan," ucap Kaia, belum turun langsung membantu Darrell. Gerakan Darrell yang penuh kemarahan sejak tadi membuat suasana perpustakaan yang tadinya tenang menjadi terusik. "Gimana rasanya dihukum karena nggak bawa buku?" Kaia tersenyum miring dengan sinis, ia bermaksud bercanda-namun lupa jika Darrell selalu sensitif dan tidak bisa diajak bercanda sama sekali.

Kealpaan itu baru disadari ketika Darrell membalas dengan tatapan tajam padanya. Kaia bersumpah itu adalah tatapan paling tajam yang pernah ia lihat dari Darrell. Tatapan itu tentu saja menyiratkan ketidakadilan yang terjadi di kelas mereka tadi.

Kepala Kaia memutar kembali memori di mana Darrell lupa membawa buku paket matematika dan dihukum guru mereka untuk membereskan buku di perpustakaan. Bagian tidak adil dari cerita ini adalah perlakuan guru yang sejak dulu tak pernah menghukum murid yang tidak membawa buku, ditambah bukan hanya Darrell yang tidak membawa benda itu. Sayangnya karena citra Darrell terlanjur buruk di mata semua orang di sekolah, Kaia menganggap jika hal itulah yang membuat pemuda itu dihukum tanpa adanya keadilan.

"Iya, iya. Jangan marah gitu, dong. Sini gue bantuin," ucap Kaia sambil berjongkok dan membantu Darrell mengambil begitu banyak buku yang dijatuhkannya tadi. "Oh iya, dua polisi itu juga nggak ada hari ini."

"Kenapa lo ngasih tahu gue?" Darrell membawa begitu banyak buku di tangan sampai Kaia sadar bahwa mungkin hal itulah yang menyebabkan benda-benda itu jatuh.

"Gua kira itu perlu. Apa udah nggak perlu lagi?"

"Masih perlu, kok. Makasih." Kata terakhir agak sulit diucapkan Darrell, entah mengapa. Kaia menghela nafas dan mengangkut buku ke arah yang dituju Darrell.

"Sama-sama." Kaia mendengus senang sebagai tambahan, kemudian mendadak mengingat sesuatu, "kemarin lo udah gue ajarin, kan? Ayo main catur sama gua."

"Entar aja. Gue belum selesai beresin rak sebelah sini," gerutu Darrell. Ia terlihat seakan ingin membanting semua buku yang ia bawa, namun ditahan sekuat tenaga.

"Gue nggak ada temen buat main, nih."

Darrell mendengus kasar seraya berkata setengah berteriak, "kalau mau cepet selesai, bantuin lah."

Kaia memelototi Darrell karena bersuara keras di perpustakaan-dan dia tidak bisa memukul pemuda itu dengan dua tangan penuh buku. Gadis itu menghela nafas berat dan memutar bola matanya, kemudian lanjut membantu Darrell menjalani hukumannya.

~•••~

"Apa sekolah sekarang udah aman karena Rendra ditangkap?" tanya Darrell sambil fokus menatap enam puluh empat petak hitam putih yang diisi bidak catur itu. Kaia melirik sekilas pemuda itu, terlihat berpikir keras dalam menghadapi perangkapnya dengan kuda dan ratu.

"Maksud lo omongan kepala sekolah tadi pagi?" Kaia agak kaget karena sekarang Darrell yang memasang perangkap untuknya. Kepalanya serentak mengulang ucapan kepala sekolah mereka saat upacara tadi.

TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang