[18]

7 0 0
                                    

"Ini gua."

Darrell selalu bisa mengenali suara ini. Kenapa tiba-tiba menelepon? Bukankah.... "Lo ... bukannya ada di penjara?" tanya Darrell, sama sekali tidak yakin bagaimana cara Ansel meneleponnya.

"Gua udah bebas."

Darrell tidak akan heran jika terjadi secepat ini, namun ada alasan apa Ansel meneleponnya ... ia melirik jam dan menyadari betapa larut malam ini. "Kenapa?" tanya Darrell. Ia menggaruk kepalanya, menyesal karena permainan online-nya masih berjalan. Dia pasti akan terkena penalti hukuman dari pihak game karena offline terlalu lama. "Buruan. Gua lagi main ini."

"Ini nggak akan lama," janji Ansel. "Gua udah hubungin anak-anak. Lo dateng aja ke tempat biasa kita ngumpul di sekolah, terus lo jelasin aja apa yang kita pikirin."

Darrell melihat kalender dan menyadari bahwa besok sudah Hari Senin lagi. "Besok?"

"Iya. Pulang sekolah jam empat. Jangan telat." Ansel memotong kalimatnya sepenggal-sepenggal dengan penuh penegasan.

Dan begitu saja. Telepon ditutup, dan meninggalkan layar ponsel Darrell dengan peringatan dari permainan.

~•••~

Sengaja, Darrell tidak memberitahu siapa-siapa. Bahkan Kaia dan ibunya sekali pun. Hari ini dia harus menitipkan hasil penelitiannya pada Kaia.

Seperti biasa, Hari Senin berjalan begitu lamban. Setelah upacara bendera Darrell merosot di bangkunya, pusing karena belum sarapan pagi. "Muka lo pucat banget," kata Kaia. Mata Darrell sedikit tidak fokus, namun ia masih mengenali gadis yang duduk di bangku depan. Entah kemana pemilik bangku itu, sampai Kaia berani duduk di sana beberapa menit sebelum pelajaran dimulai.

Darrell diam saja, nafasnya sedikit terengah. Mendadak tempat minum Darrell ada di depan wajahnya, pemuda itu memaksakan diri untuk mendongak dan bahkan tidak menyadari jika Kaia mengambil benda itu dari kantung tasnya. Kaia kembali ke tempat duduknya, karena guru sudah datang. Langsung saja Darrell bangun—yah, meskipun guru matematikanya tidak akan protes atau bahkan mengirimnya ke UKS jika sakit. Darrell ingat dia pernah berbuat kurang ajar pada hampir seluruh gurunya di sekolah ini, sehingga dia tidak akan heran jika guru-guru pilih kasih atau semacamnya. Untung saja, tidak semua guru mendendam, setidaknya tidak ada sampai separuh jumlah guru yang mendendam.

Darrell meminum air minumnya dan merasa sedikit lebih baik. Jantungnya berdegup kencang, namun tidak hanya karena pusing melainkan juga karena janji temu dengan teman-teman lamanya.

Pelajaran dimulai, dan Darrell tidak bisa konsentrasi. Dia tidak bisa fokus pada pelajaran apa pun hari ini. Dan segera setelah penantian panjang, istirahat pertama dimulai. Darrell memilih mengerjakan tugas yang ia janjikan pada Aurora dan Arya, untuk mengamati beberapa orang. Kali ini, ia memilih Ali.

Sejauh pengetahuannya, Ali adalah teman satu ekstrakurikuler Ansel. Mereka mengikuti lomba pidato bersama satu tahun lalu, ditambah sepertinya anak itu suka pada Ansel. Jangan salah sangka, Ali adalah anak perempuan. Kalau nggak salah, nama aslinya Alyana bukan, sih? Tanya Darrell dalam hati. Gaya Ali memang tomboi, dan sebetulnya agak mengherankan dia menyukai perundung parah semacam Ansel.

Darrell akui, masa lalunya cukup penuh dengan kekerasan ... yang ia dan teman-temannya lakukan pada orang lain. Meskipun Ansel dan Rendra cukup berprestasi di sekolah, itu tidak mengubah fakta bahwa mereka berandalan.

TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang