[21]

1 0 0
                                    

Ternyata benar, kartunya sudah dibekukan. Darrell sedang dipaksa pulang dengan cara seperti ini. Ia menghela nafas dan melirik sisa uangnya, masih banyak untuk hidup selama beberapa hari. Tapi apakah dia ingin hidup seperti ini selamanya? Jujur saja, Darrell tidak mau. Setelah keluar dari panti asuhan siang ini, pemuda itu membuka kontak di ponsel dan menelepon supirnya.

"Halo?" Darrell gugup sekali. Saat ini, ia masih menebak-nebak apa yang akan terjadi padanya. Sebelumnya, Darrell belum pernah kabur betulan dari rumah.

"Tuan? Sebentar. Akan saya sambungkan pada ayah Tuan."

Jantung Darrell berdegup kencang, ia tidak mengira ayahnya akan ada di rumah saat ini. Barangkali ibu Darrell langsung menghubungi ayahnya untuk membahas masalah ini. "Jadi?" tanya suara yang sudah sangat ia kenal. "Mau pulang sekarang?"

Aneh. Tidak ada nada kemarahan di sana. Biasanya ayah Darrell selalu menanggapi kenakalannya dengan cara yang cukup berlebihan. Dengan bingung Darrell menjawab, "ya?" Lebih terdengar seperti pertanyaan.

"Nanti malam kita bicara lagi. Sekarang istirahat dulu," kata ayah Darrell. Telepon ditutup, meninggalkan Darrell dalam keadaan yang sangat kebingungan. Tiba-tiba Darrell ditelepon lagi oleh supirnya, lupa menanyakan alamat untuk menjemput. Mendadak Darrell tidak menyadari hal itu. Masih kebingungan, ia bahkan tidak tahu di mana daerah ini. Pemuda itu melihat sekeliling dan tidak menemukan papan nama jalan apa pun, sehingga ia memilih untuk membagikan lokasinya saja.

.

.

.

Keanehan demi keanehan terjadi. Ibu Darrell langsung memeluknya saat ia pulang, menanyakan kabar, dan menyuruhnya langsung tidur di kamar. Saat ini pun, semangkuk sup hangat diantar ke kamar Darrell langsung oleh ibunya. Itu aneh, karena sudah sangat lama ia tidak diperlakukan seperti ini. Tiba-tiba saja amarah mendatanginya seperti petir, Darrell benci karena diperlakukan baik setelah kabur dari rumah. Apa gue harus kabur selama itu dulu sampai kalian mau bersikap baik? Darrell menggenggam sendoknya erat-erat, ia tidak selera makan. Darrell menyingkirkan makanannya ke atas meja dan memilih tidur. Satu hal baik yang terjadi, Darrell belum pernah senyaman ini tidur di kasurnya sendiri.

Tetapi seolah baru saja sedetik tidur, mata Darrell sudah kembali terbuka. Jam menunjukkan pukul tiga sore, dia sudah tidur cukup lama. Tidurnya tadi benar-benar terasa seperti beberapa detik lalu. Ia langsung membuka ponsel dan menemukan pesan dari Kaia dua jam lalu. 'Lo udah pulang?' Darrell tidak tahu harus menjawab apa. Begitu banyak yang ingin ia sampaikan, dan sebanyak itu juga hal yang tidak ingin ia sampaikan. Darrell mengacak rambutnya dan kembali tiduran di kasurnya sembari menjawab pesan Kaia, 'udah'. Seperti biasa, Kaia sangat lamban menangani pesan-pesan masuk di ponselnya.

Darrell menaruh ponselnya kembali di meja yang berada di samping tempat tidur dan melirik makanan tadi siang. Ia masih tidak mau makan, dan mengabaikan makanan yang sudah dimasak oleh ... entah siapa itu. Darrell bahkan tidak bisa membedakan masakan ibu atau pembantunya.

"Darrell!" Panggil suara di depan pintu. Darrell berjengit kaget karena tidak ada suara langkah kaki sebelumnya. Itu suara ibunya. Pintu diketuk beberapa kali, namun ibunya tidak masuk. "Kamu udah bangun belum?"

Darrell melihat jam dinding di kamarnya dan memang masih jam tiga sore, dia tidak salah lihat. Tetapi kenapa ibunya sedang membangunkannya sekarang? Darrell menghela nafas lelah dan menjawab, "udah."

"Turun sekarang, ya. Mama sama Papa mau ngomong sama kamu. Ini penting." Suaranya terdengar biasa dan ... hampir terdengar memohon. Darrell tidak yakin apa yang akan mereka bicarakan nanti.

"Ya," jawab Darrell canggung. Ia bangkit dari tempat tidur dan mendengarkan langkah kaki ibunya yang semakin menjauh. Darrell benar-benar bingung sekarang. Apa yang akan mereka bicarakan bersama?

TrueNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ