[06]

2 0 0
                                    

"Tujuh menit," ucap Kaia datar. Matanya menatap datar pada Darrell yang sedang memegang seplastik sempol ayam dengan wajah sama sekali tidak berdosa.

"Kenapa? Cuma tujuh menit," balas Darrell tanpa berpikir. Ia mengambil satu tusuk makanan itu lagi dan memakannya tanpa menawari. Sebetulnya Kaia suka makan sempol, tapi sekarang ini dia tidak membawa uang—dan meminta pada Darrell akan sangat memalukan. Lagipula pemuda itu telat tujuh menit dari janji mereka semula, sungguh menyebalkan, pikir Kaia.

Darrell tanpa seragam sekolah terlihat berbeda. Jauh berbeda. Kaia bisa mengenali brand pakaian mahal yang dipakai pemuda itu, ditambah dengan sandal dan arloji di tangannya. Darrell memakai kemeja lengan pendek abu-abu di luar kaus warna merah marun, arloji yang berbeda saat di sekolah, celana pensil, dan sepatu sandal warna cokelat tua. Menurut Kaia, Darrell bisa memakai topi fedora di kepalanya, tapi tidak akan cocok dipakai kalau mau pergi ke rumah sakit jiwa. Kaia berpikir keras apa yang membuat Darrell terlihat berbeda ... kemudian ia melirik gaya rambut yang berubah. Ha, boleh juga, pikir Kaia sambil menahan diri agar tidak tersenyum.

"Ayo buruan, gue ada urusan jam lima nanti."

Darrell mengangguk. Ia terlihat baru menyadari sesuatu dan dengan setengah panik bertanya, "lo tahu jalannya, kan? Soalnya gue nggak ngerti daerah sini."

"Tahu. Nggak jauh, kok. Ayo buruan jalan." Seketika kepala Kaia memuat gambar-gambar dari pemandangan lingkungan tempat tinggal orang kaya yang jauh dari tempat ini. Pasti Darrell salah satu dari keluarga kaya yang tinggal di sana, pikir Kaia. "Lo tadi kesini naik apa?"

"Dianter."

"Sama siapa?"

"Nggak usah nanya macem-macem atau lo bakal iri," balas Darrell. Kaia tidak membantahnya, karena semua orang di sekolah tahu seberapa kaya keluarga Darrell. Imajinasinya mendadak membayangkan Darrell sedang duduk di belakang Rolls Royce sambil menyuruh supir mengantar untuk bertemu temannya. Bukan berarti Darrell mungkin tidak punya Rolls Royce, tapi sepertinya tidak mungkin mobil semahal itu diberikan pada tanggung jawab anak SMA biasa.

"Lo nggak ditanyain macem-macem sama ortu lo?" tanya Kaia lagi. Mereka berdua berjalan bersama di trotoar, tempat yang ingin mereka tuju sudah cukup dekat.

Dengan acuh Darrell menjawab, "mereka aja nggak ada di rumah."

Kaia diam saja. Dia dan Darrell belok kiri, kemudian setelah beberapa meter Kaia buka suara, "ada di sini. Tapi gue nggak tahu cara masuknya gimana." Bangunan itu tampak seperti bangunan pada umumnya, kecuali fakta bahwa di dalam berisikan manusia sakit jiwa. Ada pagar yang sudah digeser lebar-lebar—memungkinkan sebuah truk untuk lewat, pos satpam yang memperdengarkan lagu dari radio keras-keras, dan halaman depan yang cukup luas. Setelah halaman depan, ada bangunan tingkat tiga yang sepertinya masih lebih besar lagi di dalam. Semuanya kecuali pagar dicat warna gading, dan palang rumah sakit jiwa cukup besar dipasang di depan bangunan. Tempat itu tidak akan terlihat seperti rumah sakit jiwa jika tidak ada tulisan 'Rumah Sakit Jiwa' besar-besar di sana.

"Nggak apa-apa," balas Darrell. Kaia mendongak menatapnya ketika pemuda itu melanjutkan, "kalau ada batasan umur, gue udah punya KTP."

Kaia hampir lupa kalau usia Darrell lebih tua satu tahun darinya. Ia dan Darrell berdiri di depan pagar setinggi sekitar satu koma dua meter yang dicat hitam, mengawasi pos satpam yang berisik. Kaia tidak tahu cara masuk ke dalam, apalagi Darrell. "Masalahnya lo bawa nggak?"

"Ada, kok," jawab Darrell. Ia menepuk-nepuk saku celananya guna memberitahu bahwa dia membawa KTP. "Oh, kita harus ambil kartu pengunjung di pos satpam."

TrueWhere stories live. Discover now