[10]

4 1 0
                                    

Kaia tersenyum.

Darrell masih bertampang marah seperti biasa. Namun pemuda itu tetap menerima surat dispensasi yang diserahkan Kaia. "Ini hari ulangan Fisika, dan lo malah pergi?" tuntut Darrell. "Gua harus nyontek sama siapa nanti?"

"Kalau sesusah itu, lo bisa chat gue. Kayaknya sebelum lomba masih boleh pegang hp."

"Emangnya lombanya mulai jam berapa?" tanya Darrell basa-basi. Ia menyandar di tembok sambil mengeluarkan sebungkus permen di saku. Tanpa menawari Kaia, Darrell santai memakan permennya dan mengantongi surat dispensasi itu.

"Jam sepuluh, tapi udah harus kumpul jam delapan." Kaia mengabaikan Darrell, tetapi ia menatap tajam pemuda itu di akhir kalimatnya seraya mengancam, "awas kalau surat dispennya hilang. Lo yang tanggung jawab."

Yah, Kaia bisa melihat wajah Darrell yang tampak jengah. "Terserah. Udah dulu, ya. Gua harus masuk kelas. Lo tahu sendiri keamanan sekolah ketat banget sekarang." Memang benar setelah dua pembunuhan dengan jarak waktu yang tidak jauh-jauh amat itu melanda sekolah, kepala sekolah telah memberi titah yang lumayan memberatkan. Tas akan diperiksa setiap kali murid dan guru masuk dan keluar sekolah. Dilarang membawa benda tajam, dan benda-benda lain yang mungkin bisa melukai kulit lemah manusia. Kaia sendiri merasa jika pemeriksaan itu memakan banyak waktu, dan pekerja yang ditugasi untuk pekerjaan ini sangat sedikit.

Kaia menghela nafas dan berkata, "ya udah. Gua pergi dulu." Ia melambai dan pergi menjauh dari Darrell. Bagian depan sekolah ramai seperti biasa, apalagi sudah mepet jam tujuh. Banyak murid-murid yang terburu berlarian untuk segera masuk sekolah. Namun banyak juga yang santai meski sudah waktunya masuk kelas. Mungkin anak IPS, pikir Kaia cuek, ia tahu karena banyak guru jurusan IPS yang masih santai di atas jok motor mereka, berkendara lebih lambat dari kecepatan jalannya. Memakai seragam identitas sekolah, gadis itu berjalan di trotoar, beberapa kali menyenggol mereka yang berlawanan arah dengannya. Kaia akan menjalani lomba di SMA XY, yang berada kurang lebih dua kilometer dari sekolahnya sekarang.

Bukan masalah, Kaia terbiasa pergi kemana-mana dengan berjalan kaki.

"Kaia," sapa banyak orang.

Gadis itu melambai, atau tersenyum, sering kali balas menyapa mereka. Dia memang cukup terkenal, terutama di angkatannya. Beban tubuhnya lebih ringan karena tidak membawa tas punggung. Sesekali, Kaia melihat keramaian lalu lintas di hari Rabu pagi. Masih setengah jalan menuju akhir minggu, dan semua orang sedang memasuki masa sibuk mereka. Kaia sendirian. Tidak ada pejalan kaki lain di sekitarnya saat ini. Hanya keramaian lalu lintas yang menemaninya, menjaganya dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Sambil berjalan, Kaia mengingat-ingat kembali materi lomba kali ini. Kepalanya memproses seluruh soal yang pernah ia kerjakan, menelisik pola soal yang mirip, menghitung kemungkinan besar soal mana yang akan keluar. Dengan cara ini, sebagian besar soal di lomba tidak akan membuatnya terlalu terkejut.

"Kaia!" sapa seseorang.

Gadis itu langsung menoleh ke sumber suara dan bertanya-tanya, siapakah orang yang mengenalinya? "Hai!" balas gadis itu. Ia berjalan ke arah mobil sedan yang berhenti di sampingnya.

"Mau kemana?" tanya Aurora. Wanita itu tersenyum ramah, duduk di kursi kemudi sambil melambai. Di sampingnya, ada Arya yang masih terlihat mengantuk, tetap tersenyum namun agak linglung.

"Mau lomba di SMA XY," jawab Kaia, sama ramahnya.

Setelah berpikir sejenak, Aurora menawarkan, "ayo masuk, biar kuantar sekalian. Kami mau ke kantor polisi yang ada di dekat sana."

Tidak ada salahnya menerima tawaran ini. Toh Kaia butuh sedikit istirahat untuk fisiknya sebelum lomba dimulai. Ia membuka pintu belakang dan masuk di sana, duduk sambil tersenyum. "Makasih," katanya.

TrueWhere stories live. Discover now