[03]

10 1 0
                                    

"Lo nggak akan nemuin pulpen sama kertas lo di mana-mana. Udah jelas itu situasinya sama kayak gue."

Katakan saja Darrell menolak untuk percaya. Mengingat-ingat kembali kenangan tentang pulpen dan kertas yang telah menjadi pelampiasannya selama ini malah menambah buruk suasana hatinya. Ekspresi wajah Darrell semakin datar, dengan kemarahan dan kesedihan tergurat jelas di sana. Langkahnya terburu-buru membawa tubuh pemuda itu menuju Ruang TU.

Tidak memedulikan Kaia yang mencoba menyamakan kecepatan langkah, bahkan tidak peduli jika gadis itu sedang mengikuti, Darrell berdiri di depan meja seorang wanita setengah baya yang memakai seragam khas PNS dan berkata, "Bu, saya mau melaporkan barang hilang." Suaranya terdengar kuat, namun juga sedikit bergetar, kenyataannya Darrell sedang mencoba menyembunyikan kesedihan dalam suaranya.

Wanita itu mendongak dari kertas-kertas di depannya dan mengambil buku di laci mejanya. "Lagi? Sepertinya ini sudah yang kesekian kalinya hari ini," komentarnya sambil mencari-cari pulpen di meja. Petugas Ruang Tata Usaha itu mengusap wajahnya yang berminyak dan menodai make up tebalnya.

"Belum ada yang mengembalikan atau menemukan sesuatu, Bu?"

"Iya." Wanita itu bersiap menulis di atas kertas dan bertanya, "barang apa yang hilang? Ciri-cirinya bagaimana?"

Menarik nafas dan bersedia diomeli atas ketidakhati-hatiannya, Darrell menjabarkan jawaban, "pulpen warna perak, panjangnya sekitar sepuluh atau lima belas senti, di ujungnya ada ukiran." Cukup gamblang, namun tidak begitu spesifik. Sesaat pemuda itu agak menyesali ucapannya.

"Barang antik? Kenapa dibawa ke sekolah?"

Nah. Darrell sudah memperkirakannya, namun kali ini dia agak terlalu panik karena kehilangan ketimbang mendengarkan omelan petugas yang bahkan tidak ia kenal itu.

"Itu saya bawa buat menulis sesuatu yang spesial," jawab Darrell lancar. Ia melirik pintu masuk dan melihat Kaia berdiri dengan posisi cukup tersembunyi dari penglihatannya.

"Terserah kamu, deh. Itu tanggung jawab kamu. Saya cuma bisa membantu mengumumkan barang hilang."

"Terima kasih, Bu."

"Sama-sama."

Darrell berjalan keluar ruangan dengan gontai, merasa kehilangan salah satu organ penyangga hidupnya. Ah, apa pulpennya bisa ketemu? Tanya Darrell dalam hati, mulai menghitung berapa kemungkinannya. Ah, tidak perlu keduanya, yang paling penting adalah pulpen itu.

"Mau gue bantu cari?"

Nah, pengganggu lagi. Darrell memutar bola matanya kesal, namun ia tidak ingin melewatkan kesempatan besar ketika seseorang bersedia membantunya. Pemuda itu diam saja dan menunggu kalimat Kaia berikutnya.

"Tapi bantuin gue juga. Kita kerja sama cari barang masing-masing," lanjut Kaia dengan sebuah senyum kemenangan di wajahnya.

Terlalu banyak pertimbangan di kepala Darrell sampai dia harus diam cukup lama sebelum menjawab, "oke." Gue nggak yakin ini keputusan yang bener, pikir Darrell penuh keraguan. Ia menatap Kaia dari ujung rambut sampai ujung kaki, dari senyum ceria yang lekat di fitur wajahnya yang halus, rambut yang diikat tinggi dengan kuncir warna hijau neon di sebelah kiri kepalanya, sepasang netra moka, sampai sepatu hitam yang terlihat baru di kaki. Dia tidak terlihat menyembunyikan apa pun di balik senyumannya, dan menurut Darrell, Kaia belum merencanakan apa-apa padanya. Tepat setelah itu, sebuah suara yang memanggil namanya masuk ke telinga.

"Darrell!"

Bersama-sama, Darrell dan Kaia menoleh ke sumber suara. Wajah gadis itu tampak kebingungan pada dua manusia yang berjalan mendekat—tetapi Darrell sudah pernah berjumpa dengan mereka.

TrueWhere stories live. Discover now