[17]

5 0 0
                                    

"Udah sehat?" sindir Kaia. Ia berkacak pinggang sambil menelengkan kepalanya yang mendongak menatap Darrell. Gadis itu berdecak, "dari mana aja? Waktu kita tinggal empat jam lagi. Semua gara-gara lo."

Darrell menatap Kaia canggung. "Sori, lah. Gua ada urusan," katanya tanpa ada nada minta maaf nan merasa bersalah dalam suaranya.

"Gua nggak mau tahu," balas Kaia sambil menyilangkan lengannya, menatap Darrell kesal. "Lo ngilang satu jam dan gua harus nungguin lo buat bagi tugas."

"Terus kita mau berantem dulu? Udah ah, ayo dibagi tugasnya," kata Darrell tanpa merasa bersalah. Ia mengeluarkan kertas dari sakunya, kertas yang diberikan Arya dan Aurora kemarin. "Lo mau yang mana? Separo-separo oke?"

Kaia berpikir sejenak, dia sudah menimbang-nimbang keputusan untuk memilih orang mana yang bisa ia awasi dengan mudah sejak tadi. Gadis itu sudah memikirkan orang mana yang paling mudah dimata-matai. "Gua duluan yang pilih?" tanya Kaia memastikan.

"Iya. Udah buruan."

Melihat Darrell yang sudah tidak sabar dan mulai marah—seperti biasa—Kaia langsung berkata, "Azka, Zidan, sama Isa."

"Zidan? Gua saranin hati-hati. Dia nggak segan mukul cewek," kata Darrell dengan nada khawatir. Kaia selalu penasaran darimana Darrell tahu informasi semacam itu.

"Kan ada lo," ucap Kaia ringan. "Kalau ada masalah, gua bakal panggil lo."

Wajah Darrell terlihat serba salah, namun dia diam saja, tidak membalas apa-apa. "Jadi gua dapet Julian, Ali, sama Rizky?" tanyanya memastikan. "Yah, gua nggak bisa banyak protes, sih." Ia menghela nafas sejenak sebelum kembali bertanya, "tapi kenapa Ali masuk daftar, ya? Dia, kan, anak yang lumayan baik."

"Harusnya lo tanya, kenapa nama lo nggak masuk," balas Kaia sengit, ia masih kesal pada Darrell. Namun sebelum keduanya berpisah, Kaia masih sempat berkata, "hati-hati. Jangan sampai lo ketangkep. Kita nggak boleh ngerugiin polisi."

"Iya," jawab Darrell malas. Kaia tidak yakin jika Darrell bisa tidak tertangkap, mengingat skandal dan prestasinya yang buruk di sekolah. Nama Darrell setidaknya akan sangat dikenal oleh anak-anak kelas atas. Ah, dia pasti bakal nemuin jalan sendiri, pikir Kaia, mencoba agar tidak terlalu khawatir pada Darrell. Gua juga punya urusan sendiri.

~•••~

Pemuda itu tidak terlalu tinggi, hanya setinggi Kaia. Namun wajahnya yang sangar dan suaranya yang keras bisa membuat orang-orang mendadak kehilangan kepercayaan diri. Kaia mengamatinya sedang keluar kelas menuju ... mungkin kantin. Kaia tidak percaya dia bisa menemukan Azka secepat ini—dia tidak mengira Azka sedang ada di dalam kelas. Menurut informasi singkat yang didapat Kaia dan Darrell saat bertemu dengan Aurora kemarin, Azka adalah salah satu anak yang satu ekstrakurikuler dengan Rendra. Dia juga cukup dekat dengan si tersangka, satu kelas, dan cukup sering terlihat bersama Rendra dan teman-temannya.

Melihat wajahnya yang keras, alarm tanda bahaya di kepala Kaia berbunyi sama kerasnya. Namun gadis itu menghiraukannya dan berjalan di belakang Azka dalam jarak yang cukup untuk mendengarkannya berbicara. Yang sebetulnya tidak harus terlalu dekat, mengingat suaranya yang keras.

Mengapa Kaia memilih Azka? Sebetulnya ini bukan hal yang rumit. Kaia sudah mengadakan riset kecil bersama kakak-kakak kelas yang dikenalnya dan menanyakan bagaimana ciri-ciri semua anak yang ditulis di dalam kertas. Ia ingin mengambil bagian yang mudah, yang tentu saja akan membuatnya mendapat hasil maksimal.

"Delapan puluh," jawab Azka sombong. Ia menatap temannya dan tertawa sambil tersenyum mengejek, "makanya lo belajar dong."

TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang