TIGA PULUH DELAPAN

3.5K 180 32
                                    

Mengingkari janji adalah hal mudah untukmu yang selalu menyakiti hatiku.

OoO

Sedari kemarin malam hingga siang ini, Zila tidak mendapatkan kabar dari Morgan. Bahkan di sekolah pun Zila tidak mendapati lelaki itu. Di manakah sebenarnya Morgan berada.

"Zila," panggil Bagus.

Mata Zila mengerjap kaget. Dia lupa jika saat ini ada Bagus di hadapannya. Keduanya sedang di atas rooftop, menikmati angin siang yang beradu dengan polusi jalanan.

"Iya? Kenapa, Gus?"

Sesekali Zila membenarkan anak rambut yang terjuntai ke depan wajah karena tiupan angin.

"Maaf, gue semalem ngga bisa datang ke rumah lo. Soalnya ada urusan yang harus diselesaikan."

Zila mengangguk. Memang semalam juga Zila sedang tidak mood bicara pada siapa pun, makanya dia mengurung diri di kamar selepas azan isya.

Dirinya tidak mempermasalahkan Bagus yang tidak jadi datang ke rumah.

"Nggak papa. Urusan lo lebih penting. Tapi gue penasaran sama yang mau lo bicarakan semalam. Ada apa sih?" tanya Zila.

Bagus terlihat ragu. Mungkin saja berita itu menyangkut sesuatu yang sangat penting, makanya Bagus ragu untuk berbagi cerita.

"Ini soal lo dan Panca. Apa kalian udah lama kenal?"

"Belum, bahkan gue tahu nama dia tanpa kenalan?"

"Jauhi dia, Zila. Mungkin dia memiliki sisi baik, tapi untuk saat ini, itu topeng semata yang dia pakai."

"Maksudnya?" Zila tidak mengerti.

"Apa Bang Ali belum cerita?"

Zila menyipitkan mata pada raut wajah Bagus yang berubah penasaran.

"Belum. Kak Ali nggak cerita apa pun ke gue. Dia lagi sibuk sama tugas kuliahnya."

"Ternyata jago juga Bang Al mengendalikan semuanya," gumam Bagus yang masih bisa Zila dengar.

"Gus—" Zila membalikkan bahu Bagus agar menatap lurus ke arahnya. "—kasih tahu gue, ada apa sebenarnya?"

"Gue nggak bisa Zila. Itu bukan hak gue. Cuma Bang Ali yang bisa cerita sama lo."

"Lihat gue? Zila ini masih sama kayak dulu, Bagus. Kalo lo nggak kasih tahu, maka gue yang nyari tahu sendiri."

Zila berdiri merapihkan rok abu-abu dan menepis debu yang menempel.

Bagus pun ikut berdiri. Tangannya menahan lengan Zila.

"Bahaya, Zil."

Zila menepis kasar tangan Bagus.

"Kali gitu kasih tahu gue!" sentaknya. Zila sudah kesal dengan ketidaktahuannya tentang Ali.

"Bang Ali selama ini bukan sibuk kuliah, Zil. Tapi Bang Ali sibuk mantau lo di sekolah," jawab Bagus.

"Bang Ali selalu ada di sekitar lo, bahkan gue termasuk informan kakak lo sekarang. Dia sayang sama lo, bahkan melebihi dirinya sendiri."

"Selama ini Bang Ali nggak mau lo terluka oleh siapa pun. Apalagi kisah kelam Bang Ali di masa lalu membuat dia cemas, Zila. Jadi, please jauhi Panca, karena ini demi keselamatan lo."

"Apa hubungan Kak Ali dan Panca?"

"Musuh bebuyutan. Dan lo jangan coba cari tahu titik mula permusuhan itu. Karena sekalinya lo tahu, maka keselamatan lo terancam. Ini dunia yang penuh drama, nggak ada yang bisa lo percaya termasuk gue, kecuali diri lo sendiri dan Tuhan."

MOZILA [TERBIT]Where stories live. Discover now