SATU

9.7K 430 71
                                    

Terkadang sesuatu yang memang diinginkan bisa saja terjadi. Tetapi perihal waktu yang tepat hanya Tuhan yang tahu.

OoO

Tiga bulan sebelum kisah mereka dimulai. Saat terik mentari siang menyapu bersih jalanan aspal yang dilintasi roda dua dan empat. Panas dan gersang, menggambarkan keadaan saat itu. Tak jarang kendaraan pribadi dan umum saling salip-menyalip untuk sampai ke tujuan.

Belum lagi suara klakson yang saling bersahut-sahutan mendominasi untuk pelanggar aturan lalu lintas, seperti Ibu-ibu yang sein kanan tapi malah belok ke kiri. Mengesankan bukan?

Selain kebisingan di jalanan kota, salah satu wilayah di Jakarta Barat juga sangat ramai menyambut jam pulang sekolah. Banyak kendaraan yang berhenti di depan gerbang dengan tulisan SMA Armega. Sekolah tingkat atas dengan segudang prestasi. Tentunya sudah menjadi rahasia umum jika SMA Armega selalu menjadi SMA terfavorit se–Jakarta Barat.

Apalagi murid-murid yang keturunan kelas atas mendominasi di sekolah itu. Tapi bukan berarti mereka tidak berprestasi. Mereka anak orang kaya, berprestasi pula, itu merupakan takdir hidup yang bagus bukan? Apalagi penampilan fisik mendukung, pasti akan menjadi murid populer di sekolah.

Namun, berbeda dengan seorang gadis yang tengah duduk di halte sekolah siang ini. Wajahnya yang oval, berkulit kuning langsat, berambut hitam lurus, bermata almond dengan bibir yang merah muda serta hidung yang mancung, tengah bersenandung pelan sambil menikmati panasnya mentari siang. Baginya cuaca yang cerah adalah kebahagiaan.

Dia adalah Shehrnaz Fazila Putri atau teman-temannya memanggil dirinya Zila. Murid SMA Armega dengan ciri khas jepit berpita hijau tua yang terpasang cantik di rambutnya.

Mata Zila mengedar, memandang setiap orang yang berlalu lalang di depannya. Mereka tampak bahagia, lesu, marah dan kesal. Mimik wajah yang menyatakan suasana hati mereka saat itu.

Tapi lain halnya dengan Zila, mimik wajahnya sulit diartikan. Karena Zila adalah orang yang pandai memainkan ekspresi. Jadi saat dia sedih atau kesal maka yang dilihat orang lain adalah senyuman. Maka dari itu ekspresinya sulit diartikan, apakah hati Zila saat itu baik-baik saja atau tidak, mereka tidak akan mengetahui. Yang mereka tahu Zila bahagia, tanpa beban. Selain pandai memainkan ekspresi, Zila juga gadis yang pemberani, keras kepala dan suka tantangan.

Saat itu Zila menggerutu kesal karena kedatangan bus sekolah kloter kedua yang belum datang. Sesekali matanya melirik jam tangan yang sudah menunjukkan angka 12. Waktu tengah hari yang menandakan posisi matahari tepat di atas kepala sehingga posisi bayangan berada tepat di bawah tubuh. Bayangan yang terbentuk pada saat siang hari sangatlah pendek.

"Ck! Mana sih bus sekolahnya?" gerutu Zila.

Dirinya sedang duduk sendiri, karena teman-temannya sudah pulang menaiki bus kloter pertama yang berbeda arah.

Karena tidak mendapatkan kepastian datangnya bus, akhirnya Zila memutuskan untuk berjalan kaki saja menuju gapura yang menghubungkan jalanan sekolah dengan jalanan utama.

Zila menghembuskan napas kasar dan mulai berjalan menyelusuri jalanan aspal itu. Dia sangat berharap ada orang baik yang memberikan tumpangan gratis sampai rumah. Andai saja ada, maka Zila yakini orang itu adalah orang yang dikirim Tuhan untuknya.

Baru saja beberapa langkah, sebuah mobil putih mengkilap berhenti di depannya. Sontak Zila pun menghentikan langkah kaki yang tengah melangkah itu. Dirinya terdiam menunggu kaca mobil itu terbuka.

Tidak butuh waktu lama kaca hitam itu bergerak turun dan menampakkan wajah seorang lelaki dengan rahang yang kokoh, hidung mancung, berkulit kuning langsat dan rambut yang agak gondrong serta manik mata yang berwarna hitam. Semua itu mampu menarik perhatian Zila.

MOZILA [TERBIT]Where stories live. Discover now