TIGA PULUH DUA

3.4K 184 8
                                    

Bukankah kita teman? Lalu, untuk apa bersikap berlebihan.

OoO

Hal yang paling indah bagi seluruh siswa di hari Senin adalah saat upacara tidak jadi dilaksanakan karena hujan yang turun dengan deras semalaman.

Ditambah lapangan upacara juga becek, jadi mau tidak mau OSIS membatalkan agenda rutin itu.

Semua murid Armega kini menatap lapangan yang kembali diguyur hujan deras, bahkan petir datang untuk menyapa bumi.

Di pembatas lantai, Zila sedang menikmati hujan sama seperti yang lainnya. Matanya menatap lapangan yang becek bahkan sudah digenangi air. Cuaca yang dingin serta hembusan angin kencang menerpa kulit kuning langsat miliknya, meninggalkan jejak dingin yang tidak berkesudahan.

Di sisi kanan Zila ada Fida, sahabatnya itu masih bungkam. Zila sengaja enggan bertanya, dia tidak ingin ikut campur alasan Fida tidak masuk sekolah selama dua hari. Dia ingin Fida bicara sendiri tanpa harus Zila yang bertanya.

"Dingin, Zil. Lo nggak mau masuk ke kelas?" tanya Fida mengusap kedua lengan atasnya yang tidak tertutup jaket.

Sedangkan Zila, tubuhnya memakai jaket denim army miliknya. Untung saja dia memakai karena tadi pagi sebelum berangkat matanya sudah menangkap awan mendung mulai bergeser ke arah barat.

"Nggak. Gue lebih suka kedinginan kayak gini. Lebih sejuk dan nenangin hati," jawab Zila.

Fida menoleh. "Maaf, udah hilang tanpa kabar dua hari ini."

Dilihat sahabatnya itu menunduk dalam. Tercetak jelas raut wajah seorang Fida yang penuh sendu dan rasa sedih.

Zila mungkin tidak tahu jelas bagaimana masa lalu itu terjadi, tapi yang diakibatkan dari kisah yang belum usai adalah rasa sakit.

"Lo selalu bilang kalo ada apa-apa saling kasih tahu. Tapi lo sendiri yang malah kayak gini, seakan nggak anggap gue ada."

"Maaf, gue nggak sanggup aja Zil, untuk bilang semuanya. Belum lagi lo juga ada masalah kan dalam percintaan, kelihatan jahat kalo gue ikut mencampurkan dalam masalah gue."

Zila menghela napas. Matanya menatap deras air hujan yang tiada henti.

"Tapi gue bersyukur, masalah lo juga ada hikmahnya. Buktinya gue sama Morgan udah baikan, kita jadi teman."

"Serius?" Fida tampak terkejut.

Mungkin dipikiran Fida saat ini bagaimana bisa Morgan bisa berubah secepat itu. Kecuali ada tujuannya.

Zila juga sempat berpikir seperti itu, tapi dia tidak boleh berburuk sangka sebelum ada bukti. Mungkin terlihat cepat dan dadakan, bahkan terkesan aneh jika sifat Morgan bisa berubah hanya satu hari.

"Nggak usah dipikirin ucapan gue, Zil. Bukannya bagus kalo dia berubah?"

Bibir Zila merekah. "Iya. Selagi gue bisa menangani ini sendiri, gue sanggup kok."

Keduanya merangkul satu sama lain, memberikan kekuatan. Sahabat memang seperti itu, harus saling mengerti tanpa harus mencampuri masalah masing-masing.

Biarkan Zila maupun Fida menyelesaikan masalah mereka tanpa harus memberatkan satu sama lain. Mereka berdua memang bersahabat, tapi urusan pribadi tetaplah pribadi, hanya seorang yang bisa menyelesaikan.

Sebagai sahabat mereka hanya bisa saling memberi semangat, menegur jika salah dan menasehati baik dalam suka maupun duka.

Fida melepas rangkulan mereka dan menarik Zila untuk duduk di kursi yang ada di dekat pintu masuk kelas.

MOZILA [TERBIT]Where stories live. Discover now