38 | Pak Moderator

Começar do início
                                    

Anna langsung menatapku dengan mata membulat. "Gue nggak salah denger? Kandidat terkuat lulusan terbaik jurusan psikologi 3 tahun mendatang ngajak gue cabut?"

Aku berdecak pelan. "Alay lo. Gue pura-pura izin ke toilet duluan, abis itu lo nyusul. Oke?"

"Terus tas kita gimana?"

"Lo lebih tau caranya."

Gantian Anna yang berdecak. "Yaudah, sana lo keluar duluan."

"Oke."

Aku mengangkat tangan lalu meminta izin kepada Bu Laras untuk pergi ke toilet. Tanpa menaruh kecurigaan sedikit pun Bu Laras langsung memberikan izin dan aku pun segera bergegas ke luar kelas setelah memberi kode pada Anna untuk menyusul.

Taktik Anna sangat hebat, dia baru keluar dua menit setelah aku pergi. Walaupun aku jadi harus menunggu di luar seperti orang dungu, tapi Anna berhasil keluar lengkap dengan kedua tas kami yang dibawanya.

"Gimana caranya?" tanyaku sambil menerima tasku darinya.

"Sebelum gue izin keluar, gue oper tas kita ke bangku depan. Gue ambil tasnya tepat gue mau sampe ke pintu di waktu Bu Laras sibuk lihatin laptopnya. Sungkem lo sama Lord Anna!" ujarnya jumawa.

Aku melipat kedua tangan di depan dada lalu membungkukkan badan di hadapannya. "Hatur nuhun, Suhu. Tanpa bantuan Suhu, hamba hanya butiran debu."

Anna menyibakkan rambut sebahunya dengan jumawa. "Seminarnya dimana, btw?" tanyanya kemudian.

"Fakultas bahasa."

"Buset, lo gila?!" protesnya yang kubalas cengiran lebar. "Pantes dari awal perasaan gue udah nggak enak. Fakultas bahasa ada di ujung, anjir."

Aku memamerkan kunci Jagur pada Anna. "Sans, kita ngejoki."

Tanpa membuang waktu lagi aku langsung menyeret Anna ke parkiran fakultas lalu tancap gas ke fakultas bahasa tempat seminar Rafka berada. Karena menggunakan motor, kami hanya membutuhkan waktu dua menit untuk sampai kesana meski di sepanjang perjalanan Anna terus memukuli bahuku karena aksi ngebutku yang ugal-ugalan. Tapi beruntungnya kami selamat sampai tujuan.

"Puji Tuhan, nyawa gue masih nempel di badan."

Aku tersenyum geli melihat Anna turun dari motor dengan tangan memegangi dada. "Tumben, biasanya lo nyebut Alhamdulillah."

"Kalau lagi kayak gini gue inget ke Tuhan gue, Al."

Jawaban Anna membuatku terkekeh. Kadar toleransi beragama Anna memang tidak perlu diragukan lagi. Aku masih ingat dengan pertemuan pertama kami di toilet fakultas, sesaat sebelum masuk ke kelas pertama kami sebagai maba psikologi. Dia menggerutu di sampingku saat kami sedang berada di depan cermin westafel.

"Bisa-bisanya nama gue diplesetin jadi gombalan Bahasa Arab," gerutunya waktu itu, yang aku pikir dia berdialog dengan dirinya sendiri. "Ana uhibbuka fillah artinya aku cinta kamu karena Allah, kan?" tanyanya tiba-tiba.

Aku celingukan sebentar, tidak ada orang lain selain kami berdua dan disitulah aku baru sadar kalau dia sedang bertanya padaku. Aku menganggukkan kepala dengan kikuk. "Iya, bener. Kenapa emangnya?"

"Tadi ada cowok ngajak gue kenalan. Pas gue bilang nama gue Anna, dia langsung bilang, 'pasti kepanjangannya ana uhibbuka fillah', ya?'. Cringe banget, anjir. Gue jawab aja 'maaf, gue Kristen' sambil ngeloyor pergi."

Refleks aku tertawa mendengarnya. Dari situ aku tahu kalau Anna adalah tipe orang yang sangat blak-blakan, bahkan untuk ukuran orang yang belum dikenalnya pun dia sudah sesantai itu mengobrol dengan orang lain.

IneffableOnde histórias criam vida. Descubra agora