Nggak Apa-apa Untuk Tidak Menyukai Siapa-siapa

6 1 0
                                    

Setiap orang yang hidup, pasti pernah belajar dari masa lalu. Kalau ada orang yang nggak belajar dari masa lalu, mungkin dia masih mengalami masa indah yang jumawa sebelum akhirnya mengalami masa pahit yang melankolis. Hahaha.

Sepertinya pertanyaan: siapa laki-laki yang disukai saat ini? udah nggak pernah terhitung jumlahnya. Pertanyaan serupa ditujukan ke gue sejak semester 1 menduduki bangku perkuliahan.

Teman-teman hanya nggak tahu. Ehm, maksudnya belum tahu ... kalau karakter gue yang sekarang ini adalah rekontruksi dari karakter gue yang nauzubillah pas jaman putih-abu.

Putih-abu, putih-biru, atau putih-merah ya?

Intinya yang terparah adalah ketika masa putih-abu.

Mungkin begini, karena waktu putih-biru gue menghayati banget gimana ngenesnya menyukai dalam diam. Mengagumi dalam sunyi. Menatap dalam senyap. Ya, jadi ... ketika masa putih-abu berlawanan arahlah metode gue dalam menyukai seseorang.

To be honest, pas putih-abu ... gue menjadi perempuan yang sangat jujur soal perasaan. Bahkan begitu ekspresif dan antusias setiap kali melihat atau berpas-pasan dengan orang yang gue sukai saat itu.

Momen-momen kesempatan dimana:
Bisa lihat dia olahraga di lapangan
Bisa lihat dia jalan ke masjid sama teman-teman sekelasnya
Bisa lihat dia berdiri dan ngobrol sama temannya di depan kelas
Bisa sebelahan beli makanan di kantin
Bisa pas-pasan ketemu di lab karena pergantian kelas
Itu semua seolah nggak pernah gue lewatkan. Malah kayaknya, setiap hari itu penuh dengan taburan bunga-bunga di taman. Senang. Gemas. Bahagia. Euforianya positif terus. Seringkali ... gue senyum-senyum seperti orang yang kelebihan zat gula. Giung cuy, rasanya.

Kejadian paling memalukan di masa MOPDB pun terjadi karena kegigihan gue. Gue minta foto bareng sama dia yang gue sukai waktu itu. Dia adalah Kakak OSIS yang menjadi pembina kelas. Yang perawakkannya rapi, yang wajahnya terlihat baik, dan senyumnya nggak usah ditanyain lagi. Mengalahkan madu. Wkwkwk. Di saat seperti ini, gue sepertinya kudu mengistigfarkan diri. Ekhem. Oke, jadi ... berawal dari sana. Dari ketertarikan yang terus-menerus dibiarkan berlanjut. Sampai kayaknya, gue udah nggak punya urat malu untuk mengakui ke orang-orang kalau gue suka sama dia. Lalu, waktu ada acara class meeting di mana setelah jengah dengan Ujian Akhir Semester, sekolah gue biasanya ngadain berbagai macam perlombaan antar angkatan and of course! Dia kembali menjadi pusat perhatian gue karena dia anak OSIS yang mana anak OSIS pasti selalu jadi panitia acara. Gue jadi pengamat gratisan yang dari pagi sampai sore merhatiin pergerakkan dia. Setelah acaranya kelar, gue pun balik menapaki jalan beraspal sekolah menuju gerbang. Saat itu lah, saat di mana ... dia yang gue sukai, menyapa gue dan bertanya: Dek, mau pulang?
Ditanya begitu doang ... sambil lihat dia yang agak malu mainin perkakas garfu, gue lupa waktu itu apa ya fungsinya garfu tersebut. Pasti buat gali tanah sih. Lalu buat apa tanahnya digali? Gue lupa. Saking senangnya ditanya begitu, disenyumi begitu, direspons dengan sebaik itu, dan dijawab juga secepat itu: Iya Kak. Aku mau pulang. Dia pun menimpali: Oh, hati-hati, ya. Iyaaaaa.
HUAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!
Kaki gue lemes, suara gue udah diujung mulut, pengin teriak, tapi masih punya perkiraan kalau saat itu posisinya, gue masih di sekolah. Ntar ... dikira orang gila teriak-teriak gak jelas. Gue pun pulang ke rumah dalam keadaan senang, bahagia, sampai nyampe di dalam rumah tuh gue lempar tas dan loncat-loncat kayak orang yang semangat banget lihat konsernya Batu Es. Kebayang, kan? xD. Emak aja sampai terheran-heran: Teteh sehat?
Sehat bangetttt Mamaaaa!

Nggak lama setelah MOPDB, sebagai murid baru kita diwajibin pilih eskul. Gue ambil eskul paskibra karena postur tubuh gue yang mirip sama gantar. Terus, gue juga pilih eskul keagamaan. Nah ... di eskul keagamaan ini, gue kayak disetrum. Disuruh mikir. Kudu gimana menjadi remaja islam yang baik itu? Apakah yang sibuk ngebucin setiap hari? Yang bergantung pada perasaan labil yang kapan aja bisa berubah? Apa yang mentingin biaya pamer biar bisa sombong sana-sini? Nggak juga. Dari situ gue mulai membiasakan diri untuk biasa dan memahami ... oh ini ya yang namanya perasaan mengasihi dan menyayangi yang Allah SWT maksud dalam QS. Ar-Rum: 21. Menyukai itu gapapa. Tapi, secara wajar aja. Jangan berlebihan. Jangan ... terlalu menyukai sampai lupa pada hal-hal yang harus lebih 'dipedulikan'. Saat itu, belajar yang menjadi titik penting di masa putih-abu gue.

Pas gue udah melewati pintu gerbang bernama taubat ... gue pun dikasih cobaan baru lewat teman sekelas yang ternyata sudah sejak lama suka sama gue.

Dia layaknya diri gue yang ekspresif ketika menyukai orang lain.

Modusnya adalah: minta tuker name tag, bilang, "i feel happy because i can see her smile." Pas pelajaran Bahasa Inggris di depan Miss-nya langsung dan gue menjadi bahan guyonan teman satu kelas saat itu, lalu ... saat dia sengaja duduk di sebelah gue dengan menggandeng gitarnya dan bilang: Shalawatan, yuk?
Gue sampai mikir: Nih org mau pedekate jalur syariah, ya? Nggak hanya itu, dia sering kali kirim gue chat, quotes, ucapan malam sebelum tidur, di kelas sengaja datang pagi pas jadwal piket gue, dan yang terparah ... saat semua teman-teman gue, bisa-bisanya mengunci gue dan dia hanya berdua di dalam kelas. Dia menyanyikan gue lagu. Gue nunduk, pengin nangis karena gak bisa kabur. Sementara di luar jendela semua teman-teman gue  menonton dan menyoraki: Terima! Terima! Terima!
Nggak hanya teman satu jurusan, ada yang dari jurusan lain, dan kelas tetangga yang melihat kejadian itu. Dia menyatakan perasaannya dan saat itu, gue bilang dengan jujur: Aku nggak suka sama kamu.

Gue dicap jahat oleh warga sejurusan hari itu. Ya. Gue nggak bisa menyangkal dan menghindar. Seakan gue ini seperti perempuan kasta atas yang telah menolak niat baik seorang pangeran berkuda putih.

Gue digosipi, tentu saja. Tapi gue gak peduli. Saat itu yang gue pedulikan adalah nasib gue sendiri. Karena disukai dan dikejar oleh orang yang tidak kita sukai ... rasanya tidak enak, tidak nyaman, dan risih.

Sesaat setelah gue mengalami sendiri. Gue pun merenung: Apa ... ini, ya? Yang dirasain Kakak OSIS yang gue kejer-kejer waktu itu? Ternyata, gak nyaman. Gak bebas. Dunia seakan sempit dan terus memojokkan kita.

Entah ini cara Allah SWT supaya gue sadar kalau perilaku gue kemarin-kemarin itu salah dan gak etis atau ini yang dinamakan karma. Karma is real, ceunah mah. [Karma itu nyata, katanya]. Opsi satu atau opsi dua, intinya gue disuruh mengambil hikmah dan pelajaran.

Terus sekaranggggggg gue lagi ada di masa: sedang tidak menyukai siapa-siapa.

Kalau lihat laki-laki ganteng ya paling: Oalah MasyaAllah ... apa dia kena cipratan keringatnya Nabi Yusuf AS, ya? hahaha.

Jadi, sekarang itu lebih ke ... kalau menyukai orang lain ya harus rasional. Kenapa suka sama dia? Apa karya dia? Apa yang bikin kamu bisa-bisanya pilih dia sebagai orang yang kamu sukai? Sekarang tuh kayak gitu. Kayak ... orang yang akan kita pilih dan kita iyakan untuk menjadi teman hidup itu, ya nggak semudah itu. Nggak seenteng itu. Nggak secepat itu juga. Semua ada proses dan pertimbangannya. Harus seiman itu sudah pasti, akan lebih bagus kalau sama-sama berjuang meniti karier dan tujuan hidup yang Allah SWT ridhai.

Nggak apa-apa untuk tidak menyukai siapa-siapa.

Mungkin, memang belum saatnya.

Akan datang hari di mana orang yang tepat, bertemu dengan kamu. Di kehidupan kamu. Menjadi teman dalam kebaikan dan taqwa.

Terus memperbaiki diri dan memelihara akhlak sebagaimana akhlak Nabi-nabi terdahulu.





[].

Lebih Baik Dari Kemarin!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang