Part 17 - Red Thread

848 165 76
                                    

Tiada pernah terpikir oleh Hinata jika ia bisa sedekat ini dengan teman dunia mayanya, hingga rela berkeluh kesah masalah Naruto yang bahkan Shion sahabatnya pun baru mengetahuinya akhir-akhir ini.

Dan jika mengingat hubungannya dengan Naruto, ah... rasanya dia ingin menenggelamkan diri di sungai Amazon. Berenang bersama ikan piranha lebih baik ketimbang merasa bimbang akan keadaan. Benarkah?
Hinata menggeleng segera mengenyahkan pemikirannya. Ia masih ingin hidup. Tidak lucu kan jika ia masuk berita dengan tajuk 'seorang gadis patah hati merelakan diri di makan ikan piranha'. Lebih baik ikan hiu sekalian, lebih keren dibanding ikan piranha yang ukurannya begitu kecil... jauh lebih kecil dari dirinya.

Eh? Tidak ... Hinata tidak mau mati di makan keduanya. Ia lebih memilih hidup seperti ini asal masih bisa melihat mataharinya ; Uzumaki Naruto.

Hinata heran, kenapa pesona Si Uzumaki ini sulit sekali untuk dibantah? Bahkan setiap harinya malah bertambah. Apa Hinata yang terlalu bodoh hingga menjadi budak cinta? Tidak... tentu saja tidak.

Coba lihat ke sekeliling. Pertandingan karate yang berlangsung di gedung olahraga indoor sekolahnya begitu riuh. Di bawah sana, lebih tepatnya di tengah lapangan, Si Uzumaki muda sedang bertarung melawan Yahiko - kalau Hinata tidak salah dengar - dari Amegakure High School.

Pria bernama Yahiko itu tak kalah hebat dan tampan dari Naruto. Namun lebih dari 3/4 penonton memberikan dukungan pada Naruto. Termasuk para siswi dari sekolah Ame itu sendiri.

Jika begini, Hinata semakin berkecil hati. Ia merasa tidak ada apa-apanya dibanding Si Pria. Ibaratnya ia Rakyat Jelata dan Naruto Si Kaya Raya keturunan Ningrat. Maid dan Majikan. Air dan Api. Hitam dan Putih. Bulan dan Matahari. Mustahil bagi mereka bersama.

Hinata mendesah pasrah. Iya... ia hanya bisa pasrah dengan keadaan. Biarlah ia meminta pada Tuhan untuk membuat mereka berjodoh. Karena jika ia harus berkoar - koar ke sana - sini, rasanya memalukan jika akhirnya mereka tak berjodoh.

Mencintai dalam diam. Itu yang terbaik pikirnya.

Suara gaduh membuyarkan lamunan Hinata. Apa lagi ditambah pukulan berkali-kali di bahunya membuatnya terpaksa kembali ke kenyataan. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Shion yang berada di sampingnya. Hinata memutar bola matanya jengah, ia mengusap - usap bahunya.

"Berhenti memukulku! Sakit tahu."

"Aku terlalu senang... Lihat Naruto menang! Apa kau tidak senang?"

Eh.. Apa Hinata tidak salah dengar? Dengan segera ia menajamkan pandangannya ke arah depan. Ia melihat papan skor yang ternyata Naruto lebih unggul, lalu atensinya beralih pada Naruto yang sebelah tangannya di angkat wasit, tanda pria tersebut memanglah pemenangnya.

Hinata terbelalak, untuk sementara waktu ia terpaku menatap senyum menawan sang pemilik hati. Hingga beberapa saat kemudian, ia berdiri lalu jingkrak - jingkrak di saat semua orang mulai duduk kembali di bangku masing - masing. Para siswa menatap bingung ke arah Hinata, namun tak sedikit juga yang menertawakannya.

Shion menutup wajahnya, merasa malu mempunyai teman yang lemot seperti Hinata. Sementara Hinata yang tersadar tersenyum kikuk. Ia perlahan duduk di bangkunya dengan menahan malu yang luar biasa.

Hinata mencolek paha Shion sembari menunduk menutupi wajahnya dengan surai panjangnya. "Kenapa kau tak bilang?" Gumamnya.

"Aku ingin bilang, tapi kau malah lompat-lompat ga jelas." Bisik Shion yang berkata jujur. Ketika mendengar salah satu juri yang meminta mereka kembali duduk tenang, ia akan memberitahukan kepada Hinata. Namun, Hinata yang tidak fokus pada apa pun malah tiba - tiba bersorak kegirangan.

Hinata memejamkan mata erat. Bisa ia bayangkan betapa malunya ia saat ini. Shion kembali berbisik. "Makanya jangan melamun di tempat keramaian! Jadinya malu sendiri kan!?"

Likes ✔Where stories live. Discover now