Confuse P.II

2.5K 151 2
                                    

Qiela's POV

"Kak," sapaku pada Kak Sally yang sedang duduk termenung di depan tv.

"Hm? Kenapa Qi?"

"Dana belum pulang?"

"Belum sayang. Tadi sih dia ijin nganterin temennya ke dokter. Ya gatau sekarang ngapain," sahutnya sambil sesekali melirik ke layar tv.

"Kenapa?" tanyanya kemudian.

"Nggak, gapapa kok Kak. Nanya aja. Hehehe," sahutku sambil nyengir ala bocah ingusan.

"Kak, aku keluar bentar ya," ijinku pada Kak Alya yang sedang sibuk mencuci piring bekas dinner barusan.

"Iya, tapi jangan jauh-jauh. Disekitar sini aja," pesannya.

"Oke," sahutku semangat dan keluar dari lingkungan rumahku.

Aku berjalan menyusuri komplek perumahan. Tidak ada yang bisa kulakukan selain duduk dan memerhatikan hal hal di sekitar taman ini. Hihi, aku duduk sendirian di bangku taman ini, tapi entahlah aku merasa nyaman berada di tempat ini.

Kudengar suara langkah kaki mendekat ke arahku. Aku tidak menoleh ataupun berusaha mencari tahu siapa yang mendekat kemari. Konsentrasiku hanya terfokuskan pada lapangan luas di hadapanku. Hah, aku memikirkan Dana lagi! Dimana dia?

"Qi?" suara serak itu membuatku memalingkan wajah dari hamparan rumput dihadapanku.

"Kenapa keluar rumah? Udah malem nih,"

"Gue nungguin lo," sahutku tanpa pikir panjang. Ah! Aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan ini lagi.

"Gue nyariin lo. Eh, ternyata lo disini. So..,"

"So?"

"Kita udah ketemu kan. Hahaha," sahutnya sambil tertawa garing. Ya, ketawanya hambar.

Aku hanya membalas tawanya dengan senyuman. Kenapa melihat mata itu membuatku semakin gugup?! Bukankah ini sudah lebih dari sebulan untuk bisa menetralkan perasaan bersamanya. Aku benar-benar frontal jika berhadapan dengannya. Tidak bisa di sembunyikan lagi apa yang aku rasakan ini.

"Tadi kemana?" tanyaku tanpa menatapnya.

"Nganterin temen gue check up," jawabnya amat singkat.

Aku hanya mengangguk kaku mendengar jawabannya. Ini tidak seperti biasanya. Dana hanya menjawab singkat, tidak senyum dan tidak menunjukkan wajah berseri. Ih! Aku bingung.

"Lo udah makan?" tanyaku kemudian. Aku harap ini dapat mencairkan suasana.

"Belum. Lo sendiri?"

"Makan gih. Yuk ke rumah gue, Kak Alya tadi buatin makan malam untuk lo,"

"Nggak deh. Ga mood,"

"Dan! Ayo makan. Ini udah malem, dan gue yakin lo belum makan dari sore tadi," paksaku dan menarik tangannya untuk mengikutiku.

Dana tidak menolak atau bahkan berbicara sepatah katapun. Dia tetap menurut dan mengikuti keinginanku. Dan sampai ku dudukkan dia di meja makan, masih saja wajah polos itu tidak berekspresi. Hanya pandangan seperti orang kebingungan yang ia ekspresikan.

"Nih, lo makan ya. Tadi Kak Alya sengaja simpen ini buat lo," ku suguhkan makanan yang disimpan Kak Alya di microwave.

"Lo ga ikut makan?"

"Udah tadi. Buru abisin itu," paksaku lagi. Tapi, dia tidak menyentuh sendoknya. Hanya di tatapnya makanan itu.

Aku yang merasa agak geram, mengambil alih piring dan sendoknya. Dengan duduk menghadapnya, kusuapi makanan itu untuk Dana. Then see, dia membuka mulutnya. Tapi, tidak juga ada senyuman. Tatapan matanya benar-benar membuatku kaku. Aku merasa gugup dan tidak berani menatap bola mata coklat itu.

"Qi," lirinya.

"Ya?"

"Kita ke teras belakang rumah lo yuk. Gue ga doyan makan, ga laper," ajaknya sambil meletakkan sendok yang ada di tanganku.

Kini giliranku yang mengikutinya. Dana menarik tanganku menuju teras belakang rumah. Genggaman tangannya benar-benar membuat seluruh sarafku menegang. Dia benar-benar berhasil membuatku seperti ini.

"Qi..," lirihnya.

"Gue, gue, gue..,"

"Lo kenapa Dan?" tanyaku sambil menatapnya.

"Gue... Sayang lo,"

Aku hanya mematung mendengar ucapannya. Aku tidak menatapnya lagi. Pandanganku telah teralihkan pada objek di hadapanku.

"Qi, gue mau... Gue..,"

"Qiela, lihat mata gue," katanya lagi dengan suara yang sedikit bergetar.

"Qiela, please dengerin apa kata gue. Gue sayang lo," ulangnya lagi dan aku semakin kaku. Lidah ini terasa kelu untuk berkomentar.

"Tapi, Qi. Gue... Gue... Bukan Dana seperti yang lo lihat,"

"Maksud lo?" sahutku dengan amat pelan.

"Gue... Bukan Dana seperti yang lo tau selama sebulan terakhir,"

"Dan, please. Lebih spesifik lagi, gue nggak ngerti arah pembicaraan lo," kini aku benar-benar menatapnya, tepat di bola mata coklat itu. Ya dia terlihat menelan ludahnya.

"Qi, gue bukan cowo. Gue, gue, sebenarnya gue..,"

"Dan? Lo nggak lagi bercanda kan? Coba lo tenang dulu. Jangan gugup begini. Selow,"

Dana kemudian mengalihkan pandangannya dariku. Dia memperbaiki posisi duduknya dan menghembuskan nafas dengan kasar. Setelah itu, barulah dia kembali duduk menghadap padaku.

"Qiela, gue sayang lo. Gue takut, kalo gue akuin ini, lo akan pergi dari hadapan gue. Gue takut, kalo gue ga jujur, lo akan membenci gue. Dan sekarang..,"

Dana menghembuskan nafasnya pelan, lalu menggenggam jemariku dengan erat, lalu menutup matanya.

"Dan sekarang, gue mau jujur sama lo. Gue terima segala perlakuan yang bakal lo kasi ke gue, setelah gue bilang ini semua ke lo,"

"Qi, Dana yang selama ini lo kenal, bukanlah seperti yang lo bayangin. Dana yang lo lihat, nggak seperti yang lo harapin. Gue, sebenarnya bukan cowo. Gue...cewe,"

DEG! Aku membulatkan mataku. Kaget dengan pengakuannya. Entahlah, aku mulai merasa emosi. Kutarik tanganku dari genggamannya. Dan tak kusangka mataku begitu panas, dan masih berusaha menahan air di pelupuknya.

"Menijikkan! Apa harus lo bohongin gue?! Kenapa nggak ngaku dari awal? Kenapa justru lo buat gue kayak gini!" desisku penuh emosi sambil berdiri di hadapannya.

"Lo! Benar-benar sukses buat gue down! Tega banget lo, Dan. Lo tau gimana perasaan gue? Lo..."

Kini air mataku tak terbendung lagi. Tak kuasa aku melanjutkan makian ini. Justru hanya isakan yang sangat keras yang bisa ku keluarkan. Karena saking emosinya.

Dana berdiri, kemudian kembali meraih jemariku. Akan tetapi, dengan cepat kutarik tanganku agar tidak bersentuhan dengannya.

Aku syok. Aku jatuh. Aku sedih. Aku emosi, marah, takut dan aku berada dalam posisi negatif. Aku membenci ini, tapi perasaanku masih menatapnya. Menatap dia yang sedang menerima perlakuanku yang cukup kasar ini.

Dana hanya menatapku dengan wajah yang ketakutan. Dia khawatir, bahkan pelupuk matanya terlihat sedang membendung air matanya. Ya! Dia pasti sedih menerima perlakuanku.

Ah! Kenapa harus memikirkannya! Dia terlebih sudah menyakitiku. Membuatku merada bodoh karena tipuannya selama ini. Ya! Dia seperti menempatkanku pada posisi percobaan. Damn! Aku merasa sangat dipermalukan diaini.

Bagaimaa mungkin seorang Dana yang sangat aku inginkan, adalah seorang perempuan?! Ini tidak seperti yang aku hqrapkan, Dan. Kamu membuatku sakit.

Found LoveWhere stories live. Discover now