27 - Amarah & Pernyataan

Start from the beginning
                                    

Samar-samar deruman knalpot motor lain terdengar. Nathan, Arsen, Gilang, dan Dimas berhenti di belakang Aldrich. Untuk sementara cowok itu mengabaikan celotehan Darka.

"Arsen, tolong bawa Nindys ke rumah sakit." suruh Aldrich. Gadis itu malah menarik-narik ujung jaket Aldrich dan menggeleng samar. Tanpa sadar dia bertingkah menggemaskan, sayangnya pada waktu kurang tepat.

"Mau sama kamu."

Aldrich menangkup pipi gadis di hadapannya juga membalas tatapan dalam. "Aku nyusul, ya?"

Membuang napas pasrah, alhasil Nindys manggut. "Tapi motor aku?"

"Biar aku urus. Gak usah di pikirin."

Selepas dua remaja tersebut telah berangkat barulah Aldrich mendatangi anak Ravens. Aura cowok itu sudah tidak mampu di remehkan lagi, bahkan bola matanya menggelap. Salah kan Darka berhasil membangkitkan jiwa iblis dalam dirinya.

Darka terkekeh menyaksikan pemandangan memuakkan seperti itu, atau mungkin lebih betulnya dia iri karena dulu Nindys tidak pernah begitu dengannya. "Aldrich, Ketua Wynzelle yang terhormat. Nggak nyangka ternyata lo demen bekasan gue,"

BUGH!

Anggota Ravens lainnya menyerang Aldrich seakan tak terima ketua mereka di pukul hingga tersungkur. Refleks teman-teman Aldrich maju berniat ikut membantu namun dia berkata tegas mendahului. "Tetap di tempat."

Ya, Aldrich bakal menuntaskan ini sendiri. Bermodalkan tiga bogeman sekuat tenaga membuat Ojan, Vigo, dan Ethan terkapar lemah serta mukanya babak belur. Beralih pada Darka yang nampak kelabakan tapi pura-pura menaikan dagu angkuh.

Memberikan pukulan membabi buta.

Tendangan.

Cekikan.

Napasnya tersendat, Aldrich membanting tubuh lemas itu ke bebatuan. Ia menghajarnya habis-habisan, tanpa memberi kesempatan untuk lawannya membalas. Darka terbatuk hingga memuntahkan darah. Lalu kaki cowok itu terangkat menginjak dada Darka dan sedikit membungkuk memandangnya tajam.

"This is not much of what you have done to Nindys. Once again you touch him, say goodbye to the world."

•••

Berjalan mondar-mandir bak setrikaan menunggu dokter keluar ruangan. Ditambah ponsel Nindys yang berada pada genggamannya terus berdering. Nama Papa tertera di sana. Arsen makin bingung dibuatnya.

"Angkat, nggak, angkat, nggak ... angkat!" cowok itu berhitung kelima jari menimang-nimang.

"Gimana nih? Kalo gak di angkat nanti orangtua Nindys takutnya cemas terus mikir macem-macem lagi," monolog Arsen.

"Ya udahlah angkat aja." Arsen spontan menjawab panggilan lalu menempelkan ponsel ke dekat telinga.

"Sayang, kamu di mana? Mama Vanes bilang kamu belum pulang." Chrys berujar, nada bicaranya nampak gelisah karena menunggu kabar putri kecilnya yang tidak kunjung pulang.

"Halo," Arsen menggaruk pelipis— lebih tepatnya sedang berpikir mesti kasih penjelasan bagaimana ketika orangtua Nindys bertanya keberadaannya nanti.

Sempat terdiam sejenak, Chrys kembali bersuara tegas. "Siapa kamu?"

"Saya Arsen, Om. Temannya Nindys."

"Mana putri saya? Berikan ponselnya pada dia. Saya ingin bicara penting."

"Anu, sebenernya anak Om—"

"Kamu bisa bicara dengan benar tidak?!" intrupsi Chrys tidak sabaran. Intonasinya meninggi dan sukses membuat Arsen terperanjat. Tangannya terangkat mengelus dada.

ALDRICHWhere stories live. Discover now