Aku mengerutkan kening saat mendengar Mbak Adel mendenguskan tawa, meremehkan protes yang baru saja kusuarakan. Bukan respon ini yang kuharapkan.

"Saya nggak pernah jadiin siapa pun kambing hitam," katanya sambil melangkah menjauh.

Genggamanku di ujung atas tongkat mengerat, sama tegangnya dengan otot-otot rahangku sekarang.

"Nggak jadiin kambing hitam, tapi dilaporkan ke atasan?" tanyaku.

Ada suara tumpukan kertas yang sedang dirapikan, diadukan dengan meja, tapi tak ada sahutan darinya. Sepertinya selama ini Adri benar bahwa aku terlalu sabar padanya. Adri benar bahwa seharusnya aku melakukan ini semenjak dulu: mengkonfrontasinya. Selama ini aku terlalu memberi Mbak Adel kesempatan untuk menginjak-injakku, bahkan mungkin kami semua, menjadikan kami kambing hitam ketika terjadi kesalahan, namun mengakui setiap kredit yang didapatkan dari hasil kerja kami yang berhasil.

"Mbak, sebagai atasan harusnya Mbak Adel itu bisa jadi contoh, nggak cuma nyuruh-nyuruh lalu nyalahin kita kalau salah. Mbak Adel nuntut kita buat kerja tepat waktu, selesai sebelum deadline, tapi nyatanya apa? Mbak Adel sendiri kan yang sering ngasih kerjaan ke saya mepet deadline? Terus kalau sampai telat kaya ini tadi, saya juga yang disalahin, yang dilaporin ke atasan?" Suaraku tak keras, tapi nadaku jelas tinggi.

Tak ada tanggapan lagi. Yang kudengar hanya dia yang sedang sibuk membereskan mejanya, lalu helaan napasnya.

"Udah dulu, ya? Nanti kutelpon lagi kalau aku sampai rumah," ucapnya. Bukan padaku, tapi pada siapapun yang sedang ditelponnya ketika aku mengetuk pintu tadi. Ternyata dia tak mematikan sambungan telpon. "Udah?" tanyanya kemudian.

"Mbak Adel ngomong sama saya?" tanyaku, memperjelas siapa yang sedang dia tanya.

"Ya. Siapa lagi memangnya?" Mbak Adel mematikan lampu ruang kerjanya.

Tenang, sabar, tarik napas. Tiga perintah itu yang biasanya kamu berikan setiap kali menemukanku sedang berusaha menahan ledakan amarah seperti ini. Aku memang tak terlalu pandai menyembunyikan kekesalan. Katamu, kamu akan selalu tahu kapan aku sedang kesal, marah, hanya dengan melihat wajahku.

"Senja?" tuntutnya.

Aku tak menjawab, masih berusaha mengatur denyut jantungku agar melambat dan tak memuncakkan kekesalanku.

"Fine. Saya bisa pulang sekarang. Bisa tolong minggir?" tanya Mbak Adel. Suaranya sangat dekat. Kondisi ruangan yang remang-remang, ditambah kekesalan yang mulai memuncak membuatku sampai tak memperhatikan kalau dia sudah ada di hadapanku sekarang.

Genggaman tanganku di ujung tongkat kembali mengerat. Aku menegakkan tongkat di depan tubuh, menggenggamnya erat, sedikit menumpukan berat tubuh pada benda itu, mendadak bimbang dengan apa yang sebaiknya kulakukan selanjutnya, apakah aku harus bertahan dan memaksanya menyelesaikan semua ini sekarang atau segera menyingkir, memberinya jalan agar dia bisa pergi, membiarkan masalah ini kembali mengambang, hanya sekedar tersampaikan tanpa ada penyelesaian.

"Senja?" Mbak Adel kembali memintaku menyingkir dari pintunya. Di dalam suaranya masih saja tak kutemukan rasa bersalah.

Lalu mendadak aku menyangsikan kebenaran tindakanku. Mendadak aku tersadar bahwa tak ada cukup bukti yang bisa kugunakan untuk mengkonfrontasinya. Tiba-tiba rasanya tak benar karena protes yang baru saja kulemparkan padanya hanya berdasarkan dari apa yang kucuri dengar, tanpa ada klarifikasi sebelumnya. Curi dengar. Dari satu kata pembentuknya saja sudah jelas tak berkonotasi baik. Bukan juga tindakan baik walaupun jelas dia menyebut namaku. Tak juga bisa aku melakukan klarifikasi dari hasil pencurian seperti ini. Hanya saja, kalau tak kuselesaikan, aku akan selamanya memendam ini, menumpuki hatiku dengan kebencian padanya, menyiapkan bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu, lebih hebat daripada sebelum-sebelumnya.

Merah MatahariWhere stories live. Discover now