Two

104 19 62
                                    

Sometimes, the angels staring at themselves in the mirror with tears streaming down their face and begging themself to holding on and live for one more day.

===Bubbles Inside a Fishtank===

"Lana, gimana pun kondisi kita, kamu bisa jadi apa pun yang kamu mau. Jangan kecil hati, ibu pasti bakal bawa kamu sama Ren keluar dari sini."

"Kata Ibu, Ren sama kakak nggak perlu takut. Selama kita punya Ibu, kita nggak bakal kenapa-kenapa."

Dulu, perkataan itu selalu Lana kenang dalam benaknya. Tidak peduli seberapa asing orang-orang memandang, tidak peduli sebising apa dunia di luar sana, dan tidak peduli berapa lama dia harus bersembunyi di dalam kegelapan rumah setiap kali Lana dan Ren pulang sekolah.

Dulu, Lana percaya. Suatu saat nanti, dia pasti keluar dari rumah itu. Suatu saat nanti, pasti tidak ada lagi teriakan orang tuanya yang beradu. Suatu saat nanti, Lana pasti tidak akan dipukul lagi oleh sang ayah hanya karena dia lahir di dunia.

Maka dari itu, Lana tidak peduli bagaimana teman-teman memandangnya ketika datang ke sekolah dengan wajah lebam. Bagaimana dia melamun menatap Ren yang melahap masakan sisa semalam dengan perut lapar. Bagaimana dia menyumpal mulutnya dengan sapu tangan hingga tidak bisa bernapas hanya agar teriakannya tidak terdengar kalau-kalau sang ayah memukulinya ketika mabuk.

Selama Ibu masih bisa berjanji akan membawa mereka pergi, selama Ren masih bisa bersembunyi tanpa menjadi sasaran ayah, maka Lana baik-baik saja.

Selama harapan itu masih ada. Harapan bahwa dia, akan keluar dari rumah sialan itu, suatu saat nanti.

"Kalau kamu masih mau jadi kayak gini, kenapa nggak kamu bunuh aku aja!"

Tubuhnya limbung, bersamaan dengan suara pecahan gelas yang terjatuh di ujung meja saat suara Ibu menghantui pikiran Lana. Lelaki itu menghela napas. Selalu saja seperti ini. Kejadian mengerikan yang terjadi hampir enam tahun lalu membuat hidup Lana tidak pernah terasa sama lagi.

Lana menghela napas panjang, menggosok wajahnya dengan kasar beberapa kali sebelum berjongkok dan memungut satu persatu pecahan gelas di lantai. Namun kedua tangannya yang masih gemetar tidak bisa mengambil pecahan-pecahan kecil yang ada di lantai.

"Memang seharusnya ibu nggak usah ngelahirin kamu sama Ren ke dunia ini."

Suara Ibunya yang kembali terngiang membuat emosi Lana memuncak dan tangannya gemetar hebat sehingga beberapa pecahan gelas yang tadi ia kumpulkan kembali berjatuhan. Lelaki itu terduduk, mengenggam sisa pecahan gelas di tangannya erat-erat, lalu merasakan kedua pipinya mulai basah.

Sial.

***
"Lana!"

Seruan itu membuat langkah Lana berhenti. Lelaki itu menghela napas sebelum menoleh dan menatap orang yang memanggilnya dengan tatapan lo-ngapain-manggil-gue-lagi-anjir.

"Hehe." Cakra tertawa kecil seraya berjalan di samping Lana tanpa merasa bersalah sama sekali.

Sementara, Lana hanya mendengkus jengkel dan berjalan tanpa menjawab Cakra. Hari ini adalah hari ketika Cakra mengantarnya pulang—atau bisa dibilang mengikuti dengan paksa. Lana tidak pernah menyetujui lelaki itu untuk mengantarnya, tapi dia juga terlalu malas untuk menolak.

"Na, nanti gue numpang ngerjain PR Fisika, ya. Sekalian minta ajarin."

"Nggak."

"Bentar doang. Kalo gue nggak boleh numpang ngerjain PR, berarti besok pagi nyontek punya lo, ya?"

Lana menghela napas, enggan menjawab pertanyaan Cakra yang berjalan di sebelahnya.

"Na! Budeg ya lo?"

Bubbles Inside a Fish TankWhere stories live. Discover now