13. NOT REALLY SURE

73 11 2
                                    

Sydney, Mei 2003

Aroma masakan menyeruak masuk ke dalam indra penciuman seorang bocah laki-laki yang sibuk berkutat dengan video gimnya. Fokusnya teralihkan begitu suara perempuan paruh baya yang ia kenal memanggil namanya dan memintanya makan siang.

"Cepat, Riz!" seru perempuan yang sepertinya adalah ibu si bocah.

"Iya, sebentar." Bocah yang dipanggil dengan nama Riz itu lantas membereskan barang-barangnya sebelum turun untuk makan siang.

Matanya spontan berbinar begitu melihat makanan yang tersaji di atas meja. Semuanya adalah menu kesukaanya.

"Cepatlah duduk, ibu akan membuatkanmu minuman."

Riz kontan mengangguk, menuruti permintaan sang ibu. Bocah satu itu memindahkan makanan yang dia inginkan, salah satunya adalah Barramundi. Bocah laki-laki berusia sekitar 8 tahun tersebut menyantap hidangan ikan kakap putih panggang dengan perasan jeruk nipis, sedikit garam, dan merica. Ia tersenyum senang. Namun, senyumannya langsung hilang begitu melihat sang ibu yang langsung meninggalkannya setelah menerima telepon.

Jez Riz menatap seisi ruangan, lagi-lagi dia makan sendirian di meja yang panjang itu. Dalam keheningan, Riz menghabiskan semua makanannya sebelum beranjak pergi kembali ke kamar. Di tengah-tengah langkahnya, tidak sengaja ia mendengar ibunya sedang melakukan panggilan telepon dengan seseorang. Entah hal lain apa yang mereka bicarakan, tapi yang pasti Riz bisa mendengar kalau ibunya akan pergi ketika ia tidur.

Tanpa sadar ia membekap mulutnya sendiri, lalu tergesa-gesa berlari menuju kamarnya, yang tanpa ia duga langkah kakinya terdengar sampai ke telinga Wanda-ibu Riz.

Begitu pintu kamarnya ditutup, tak lama kemudian Wanda mengetuknya. "Riz, mau bicara?" katanya kemudian.
"Apa kau akan benar-benar pergi?"

Suara helaan napas terdengar. "Ayo bicara dulu."

Riz yang awalnya ragu membukakan pintu untuk ibunya, pada akhirnya mau membiarkan wanita itu masuk.

Wanda mendekat ke arah putranya yang langsung termenung di kasur begitu melihat dirinya dengan penampilan rapi.

"Tetaplah tinggal di sini." Riz mengernyit. "Kau akan baik-baik saja. Riz kan anak baik, kau juga cerdas, dan kakek menyukaimu, 'kan?"

P

erempuan dengan mantel putih tulang di pelukannya tersebut tersenyum penuh arti. Dia mengusap puncak kepala anaknya lembut.

"Jadi laki-laki yang keren ya, dan jadilah yang terbaik."

Riz mengernyit, dia agak tidak mengerti dengan ucapan ibunya, tapi kini bocah itu tidak mengambil pusing, setidaknya untuk sekarang.

"Nanti ibu telepon ya, kita juga bisa tuker-tukeran surat." Wanda duduk di kasur Riz. "Sini, peluk," katanya sambil merentangkan tangan.

Beberapa saat kemudian, Wanda terlihat gelisah. Dia langsung melihat ke ponsel begitu menerima pesan dari seseorang yang tidak Riz tahu. "Ibu pergi, ya."
Jez Riz mengangguk ragu. Wanda bilang kalau ia akan pergi karena pekerjaan, tapi sepertinya tidak begitu. Namun, Riz tetap mempercayai ibunya. Salam terakhir diberikan, dan ketika dia memeluk ibunya untuk yang terakhir kalinya, matanya menangkap beberapa luka memar di leher dan pundak ibunya.

"Jaga diri baik-baik, ya." Wanda mencium kening Riz, lalu pergi meninggalkan bocah itu sendiri di kamarnya.

Dari dalam kamar, ia bisa mendengar kalau ibunya lagi-lagi berbicara dengan nada tinggi ke orang lain lewat telepon.

***

Vincent menghentikan langkahnya, dia terlalu lelah untuk berlari kembali. Sementara ia melihat Asher berdecak kesal sambil menggaruk kepala frustasi.

7 LinesHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin