Pulang

5K 489 9
                                    

Kehangatan pasir pantai menyamakan telapak kaki. Elise menatap permadani biru bergelombang di depannya. Udara seakan memainkan lagu pengantar tidur, pengundang kantuk. Pekerjaannya di sini sudah selesai, separuh  gajinya sudah dibayar, separuhnya lagi nanti jika bukunya sudah terbit. Dia meminta tambahan satu hari untuk tinggal, hanya sekadar berpikir dan menyiapkan diri menghadapi masalah yang akan dia jumpai kembali.

Benar, dia tidak bisa lari, koneksi antara mereka masih seperti tali keret yang terikat pada satu ujung, mau terlempar ke mana dan sejauh apa, tetap saja akan terpelanting pulang ke titik itu.

Tanya kembali mengulang di kepala Elise, mengapa rasa takut pada Ethan menjadi sangat berlebihan. Ketika pertunangan Deo, mengapa wajahnya menjadi begitu mengerikan. Jadi di sini, siapa sebenarnya yang membawa kutukan?

Dada kembali sesak mengingat kejadian malam itu dan kepala dengan keji menyeret kembali ingatan masa lalu.

“El,” panggilan datang dari balik punggungnya.

Nada suara akrab itu sontak menjadi sengatan menggetarkan. Elise tidak segera berbalik, malah menyilangkan tangan dan saling mencubit, memastikan panggilan barusan hanya bagian dari halusinasi akibat rasa rindu.

“Elise!” panggilan itu lagi.

Elise memejamkan mata, jemari kaki melakukan perenggangan. Dia harus lari. Sebelum instruksi kepala berubah menjadi gerakan, pegangan erat mengikat telapak tangannya. Tak lama berselang, tubuhnya ditarik ke dalam pelukan.

“Mau ke mana lagi sih, kangen tahu!” Deo mempererat pelukannya.

Elise mengembungkan pipi, mata sudah  mulai berkaca. Namun, dia tahu pelukan ini hanya sekejap sebelum angkara murka tertuang. “Ok! Say it. Aku dengarin semua.”

“Bilang apa coba?” Deo melepaskan pelukannya dan menyentuh bahu Elise. Dia meneliti wajahnya sesaat, merasa kurang puas, Deo menarik lepas kaca matanya juga.

Elise menunduk, kaki berbalut sandal jepit hijau dia goreskan di atas pasir membentuk garis-garis tidak beraturan, juga kedua tangan saling meremas. “Seharusnya Kak Deo marah!” ucapnya pelan.

“Harusnya? El, aku ke sini ngejemput kamu. Aku udah nggak tahan lagi sama sikap kamu.”

“Sikap aku? Kita nggak ketemu hampir satu bulan. Hidup berjauhan dan aku nggak ngapa-ngapain juga, itu bukannya ….”

“Apa? Tiap kali video call, kalau aku lewat kamu matiin. Mau nelpon, nomor aku kamu block. Itu apa sebutannya coba?”

“Entah.” Elise masih belum berani menatap wajah Deo. Dalam hati sebenarnya dia ingin melompat ke pelukan sang Kakak. Hanya saja, sebelum mendengarkan kalimat lanjutan yang berhubungan dengan pesta pertunangan, itu tidak akan terjadi.

“Elise, semenjak kapan kamu jadi melankolis begini sih?” Deo mengguncang tubuh Elise berulang kali.

“Mana ada!” bantah Elise sembari menepis tangan Deo agar menggantikan gerakan. “Udah, dong Kak. Nggak usah baik-baik deh, marah aja sekarang!”

“Soal apa?”

“Malam pertunangan, Kak Deo lah. Apa lagi?”

Senyuman Deo hilang sesaat. Dia menyentuh keningnya sendiri, lalu mendorong rambut hitam di kepala dalam satu gerakan. “Kamu lari bukanya berjuang buat lupain malam itu?”

“Aku lari karena aku nggak siap terima amarah dari Kak Deo. Sebelum pertunangan aja, aku udah dimarahin terus.”
“Karena aku panik dan aku nggak tahu kamu sama Ethan ada masalah. Kenapa kamu nggak cerita sama aku?”

“Urusan itu, antara aku dan Kak Ethan aja. Kak Deo sahabatnya, buat aku dia keterlaluan tetapi buat Kak Deo ya, dia tetap orang yang sama. Atau, Kak Deo mau memilih? Enggak kan!”

“Ethan, udah jelasin semuanya sama aku.”

“Dan Kak Deo pasti di pihak Ethan. Right? Biar aku tebak, Kak Deo mau bilang, ‘El kamu itu kekanak-kanakan atau ‘minta maaf sama Ethan, kamu salah!’”

“Enggak.  Kamu Tahu nggak siapa yang ngantar kamu ke klinik waktu kamu pingsan dan hampir berlumuran darah gara-gara ketusuk pecahan gelas?”

“Papa,” jawab Elise seratus persen yakin.

“Ethan.”

“Ya udah, impas kalau gitu, anggap aja utang lukisan dia sama Istrinya si super model itu lunas. Model kok nggak punya modal.”

Deo mengangkat tanganya memberikan tepukan kecil ke kepala Elise. “Kambuh lagi napas apinya.”

“Kamu sebenarnya benci sama Ethan atau cemburu sama Keisha?”

“Nggak dua-duanya. Aku takut, dia bilang aku pembawa kutukan, bawaannya dia sial mulu kalau dekat sama aku dan aku nggak mau kejadian itu terulang lagi. Udah ah, jangan ngebahas dia! Jadi gimana Kak Jesika?”

“Waktu kamu jatuh ke tumpukan gelas?”

Elise menggeleng. “Setelahnya.”

“Dia buru-buru telepon ambulance. Dan kamu tahu apa yang dia pikirin, kamu jatuh karena tergelincir lantai yang licin. Dia sama Ibunya kompak tuh marahin semua  staf.”

“Aku harus minta maaf sama mereka semua kalau gitu!” Elise menunduk. “Wait, Kak Jesika nelpon ambulance tapi kenapa tadi bilangnya aku diantar sama Kak itu ….”

“Ethan panik banget, dia langsung ngangkat kamu dan lari ke luar, terus disusul sama Papa. Waktu kamu udah di klinik dan belum sadarkan diri, dia ditelepon sama Keysha katanya mau ketemu sama investor dan nggak bisa ditunda, jadi Papa yang nemanin kamu selagi aku dan Mama harus berjuang menahan sisa keluarga kita biar nggak sekaligus neybur ke klinik dan ninggalin acara yang belum selesai.  Waktu dia kembali, kamu udah nggak ada, dia tanyain ke suster katanya kamu udah balik. Dia nyusul ke rumah dan dia ngeliat kamu masuk ke mobil Kayle. Dia hampir aja ngehajar Kayle karena kawatir dan lagi, teman kamu itu nggak mau ngasih tahu kamu di bawa ke mana.”

“He’s an Angel,” gumam Elise mengagumi kebaikan hati temannya. Dia tidak mengatakan terus terang bagaimana Ethan memperlakukannya. 

“Ethan, iya dia emang baik,” timpal Deo.

“Bukan dia, Kayle.”

“Hampir sebulan di sini udah ngapain aja kamu sama dia?”

“Kita baru ketemu lagi kemarin. Aku perlu bukti untuk mendukung ucapan Kak Deo.”

“Bukti? Aku punya rekaman CCTV aula acara, klinik juga.”

“Jadi, Kak Deo maunya apa? Aku minta maaf sama Ethan?”

Deo mengeleng perlahan. “El, aku nggak bisa masuk ke dalam diri kamu dan ngerasain sakitnya ucapan Ethan. Semua ada di tangan kamu sendiri. Cuman ya, boleh lah kamu bicara satu kali aja sama dia, buat bilang kamu baik-baik saja. Biar dia juga tenang dan nggak diomelin terus sama Mamanya. Dia satu-satunya orang yang nyalahin Ethan malam itu.”

Elise menatap laut, baiklah dia akan bicara.

Love Back TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang