With You

4.7K 398 7
                                    

Elise takluk pada Ethan, membiarkannya memasak di dapur, tanpa berdebat lagi. Sesuaimakanan, orang rumah sudah tertidur, jika mengusirnya paksa dia takut malah menyebabkan keributan yang membangunkan semua orang dan mempertanyakan sedang apa mereka berdua.

Mereka berdiri bersisian di depan kompor. Ethan meracik saus sedangkan Elise merebus spageti yang tadi dia beli.

“Besok, kalau terlambat jangan salahin aku, ya.” Elise mencoba menjalin percakapan lagi. Dia melirik ke arah Ethan yang sibuk mengaduk saus.

Ethan berpaling, dia mengarahkan ujung sendok ke hidung Elise. “Sssst! Berisik tahu.”

Elise mendesis, kembali fokus ke isi panci. Beberapa menit  berlalu dalam keheningan, makanan mereka siap, tersaji. Spageti hangat ditambah saus, juga sosis dan kornet yang Elise masukan tanpa persetujuan dari Ethan. Dia sudah menyajikannya dalam dua piring, lalu duduk manis di meja makan Ethan malah menariknya kembali.

“Apa lagi?”


“Dikasih garnis dulu.”


“Ini bukan restoran, udah makan aja!” Elise melihat bibir Ethan siap bersuara. “Ssst. Aku udah lapar,” cecarnya cepat.

“Nggak istimewa dong,” ucap Ethan. Dia menarik kursi duduk dan bertopang dagu. Wajahnya cemberut.

Sekali lagi, Elise tidak bisa mendustai kenyataan jika tetangganya itu memiliki wajah memesona, dalam raut apa pun, apa lagi saat senyuman lebar terpajang di bibir. Perlahan dia meraih garpu, mulai memintal spageti.

“Bentar, kayanya aku lupa sesuatu.”

“Apa?”

“Tutup mata! Ini rahasia para koki.” Ethan menyilangkan tangan di dada, lalu membuat gerakan meraba di udara.

Ethan berubah konyol, menahan tawa Elise mengatup mata, mengikuti saja. Detik berikutnya, dia kembali menatap Ethan. “Poison?”

“Enggak lah! Tapi ….”

“Kalian berdua ngapain?” Deo melompat masuk mirip pocong nyasar. Meski dia memelankan suara, tetap saja sudah terlanjut heboh.

“Berduaan,” balas Ethan sembari melemparkan serbet kea rah Deo.

“Wah, wah. Kalian makan enak nggak ngajak-ngajak ya.”

Deo mendekati Elise, menarik piring dari tangannya pada hal Elise baru makan beberapa sendok. Dia hanya bisa menatap sang Kakak tanpa bisa mengambil kembali haknya.

Ethan mendorong piringnya kea rah Elise. “Nih makan!”

“Ish, Kak Deo sih!” runtuk Elise. Dia menatap kesungguhan di mata Ethan. Pria itu mengangguk dan mengedikan mata.

Ethan kembali tersenyum, dia menopang dagu. Elise benar-benar lapar, butuh makanan dan dia harus mengabaikan Nurani sekarang. Mata Ethan masih terpaku padanya, menatap seolah dia bayi yang sedang belajar mengunyah.

Keheningan mengambil alih. Elise sibuk mengatasi raungan kampung tengah.

“Hampir jam dua belas. Aku balik deh.” Ethan bangkit dari kursi. Mata Elise mengikuti setiap gerakannya tanpa sadar.

“Oke! Mau diantar?” Deo menyahut sebelum bibir Elise mengeluarkan suara.

“Enggak lah!” Ethan menepuk kepala Deo.

“See you tomorrow.” Ethan melambai tepat sebelum dia menghilang di balik pintu samping.

“See you,” ucap Elise pelan nyaris tenggelam, sekan tidak rela mala mini berakhir.

“Ada sesuatu kan antara kalian berdua?” cecar Deo begitu Ethan menghilang.

“Nggak ada! Tadi itu aku mau ngirim SMS ke Kak Deo, eh tahunya malah nyasar ke nomornya Kak Ethan. Then woalah, ini terjadi.”

“Kamu sadarkan, Nathan masih sayang sama kamu.”

Elise mengabaikan ucapan Deo. Kenapa pria itu selalu saja dikaitkan dengan dia selama beberapa hari ini. Come on, dia bahkan tidak lagi bertemu dengan dia. Lagi pula, Nathan dan Karin itu satu paket komplit.

“Thumbelina, aku perhatiin, kamu kayanya suka lagi deh sama Ethan.”

“Enggak!” Elise menggeleng, dia mengambil suapan besar spageti, menyuapnya terburu-buru.

“I know you, Sis. Kamu nggak bisa bohong. Your eyes tell me, directly. Kamu tahu kan Ethan itu ….”

“I know. Sekarang aku lagi berjuang keras buat terbiasa sama keadaan dan jangan sampai kepala aku ngelakuin hal bodoh yang sama kaya dulu. Semua berjalan baik sekarang. Maybe right, rasa yang dulu pernah ada tumbuh lagi. Kak ….” Elise berbalik menatap Deo. “I don’t know what I have to. Aku pengen menghindar lagi, sama kaya sebelum kehidupan aku berapa tahun tanpa dia, ini nggak lagi sama. I’m confused.”

“Ethan punya ….”

“Kak Keysha, I know. Aku sadar diri kok. Uda ah, ngantuk. Noh cuciin piringnya.” Elise mendorong kursinya. Setengah berlari dia meninggalkan Deo.  Rasa sesak di dada menghentikannya di ujung tangga. Dia menarik napas sesaat, dia harus bisa melupakan perasaan ini, harus bagaimana pun caranya.
***




“Celistia, bukunya sudah selesai cetak dan perilisannya tanggal 23. Karena Om sangat suka dengan isi bukunya, maka Om pengen kamu yang nentuin tempat perilisan. Kamu maunya di mana?” suara Andreas mengalun dari seberang.

Elise baru saja bangun dari mimpi panjang yang sangat mengerikan, terjatuh dalam mulut raksasa bergigi hiu, pikirannya belum begitu jernih dan malas untuk bekerja. “Tempat kaya apa Pak?”

“Terserah kamu. Restoran, hotel, aula, bebas.”

“Restoran tempat kita pertama kali membahas buku?” Elise tidak bisa lagi memikirkan tempat  lain.

“Loh, tempat di mana kamu nolak makan itu? Mau nolak makan lagi gitu?”

“Tidak!” bantah Elise cepat.

“Wah, romantis juga kamu ternyata sampai tempat pertama kita bertemu jadi kenangan di kepala.”

“Bukan gitu, Pak. Tante Sofi senang sama makanan jepang kan?”

“Kok tahu?”

“Lah, Pak Andre sendiri yang cerita.”

“Ih, udah kaya gajah aja memori kamu.”

“El,” suara Ibu Kayle terdengar.

Elise menarik napas, dia tidak ingin membicarakan Karin hari ini. Mengingat rupanya saja sudah membuat tubuhnya memanas. “Iya, Tante.”

“Cover bukunya hitam, jadi kita nentuin tema pakaian. Abu-abu, oke.”

“Abu-abu? Saya nggak baju abu-abu.” Jujur Elise. dia tidak akan mengeluarkan sepeser pun uang guna membeli baju baru demi acara perilisan buku ini.

“Tante punya baju buat kamu, nanti di kirim. Nggak pake pembatahan!”

“Sound good!” As long as free dan gaunnya nggak kebuka sana- sini seolah kain di dunia telah kehabisan kain.

“Baik. Tempatnya uadah ada, sekarang tinggal bagian Kayle buat ngurusin persiapan. Kalau udah kelar kita kabarin.”

“Siap.” Elise menutup panggilan. Dia melirik jam. Jam Sembilan pagi. Waktunya kembali bekerja, untung saja perasaannya soal bangun terlambat hari ini tidak salah.

Love Back TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang