Sadarlah

5.1K 489 10
                                    

Dear hati ....
Dari sekian banyak manusia
Mengapa sang pemberi luka yang kau tangisi?
____

"Please, Kyle! Aku mohon banget jangan di restoran itu!" Elise merapat di salah satu dinding kamarnya yang bercat hitam. sekujur tubuh memanas saat Kyle menelepon mengatakan ayahnya ingin menemui dia di restoran Ethan.

"Kenapa? Kamu nggak suka makanannya?" tanya Kyle dari sebelah diikuti tawa tipis.

"Restorannya angker, banyak hantu!" tubuh Elise lengser ke lantai. "Kyle, aku mohon banget, banget, kebangetan jangan di sana."

"Sorry, El, Ayah udah reservasi, dan aku dilarang untuk ikut campur, dia aja udah marah banget penulisnya aku ganti."

"Kamu bakalan ikut?"

Tidak ada jawaban dari Kyle. Elise menepuk jidat, pertanyaan konyol macam apa itu?

"Nggak usah dipikirin. Jam setengah dua belas. Ok!" Elise mematikan panggilan. Dia masih menempelkan pipi di dinding, tubuhnya masih juga memanas. Harus kenyang, don't touch anything, selain kursi.

Keheningan mendadak pecah oleh raungan perut. Elise melemparkan ponsel ke karpet. Detik berikutnya kepala berteriak, itu ponsel baru. Dia merangkak di lantai mengambil dan memastikan gawainya baik-baik saja. Dalam keadaan sadar, dia meletakan ponsel perlahan di atas kasur seperti bayi.

Jam dindingi menunjukkan pukul delapan pagi lewat tiga menit. Deo belum berangkat kerja. Elise mengintai ke kamar sang kakak. Tertutup rapat, dia bisa ke luar sekarang. Hubungannya dengan Deo makin kacau, apa lagi setelah dia mengabaikan Jesica secara tidak sengaja. Hebatnya lagi, dia duduk di kamar mandi tanpa melakukan apa pun selama dua jam, hanya menjawab pertanyaan orang dari luar yang memastikan dia masih hidup di dalam.

Elise menuruni tangga perlahan, menjaga agar kakinya tidak menimbulkan suara.

"Laparkan!" tangan ibunya menyembul saat dia berada di anak terakhir. "Punya anak gadis kok kaya kamu, Celistia!"

Terikan sang ibu tidak main-main, sakitnya hingga ke ujung mata. Dia hanya bisa meringis. Bicara artinya memperpanjang percakapan sedangkan perut melolong bak serigala kelaparan.

"Masalah apa lagi sama Ethan?"

Jantung Elise melompat ke lantai. Dia menatap Ibunya dengan mata membuka lebar. How she knows?

"Nggak ada!"

"Kamu harus ngommong sama, Deo! Bilang terus terang, Kakak kamu tunaangan hitung hari, El!"

"Mama benar, aku lagi ada masalah sama anak tetangga. Udalah, Ma. Deo ... Bang Deo sama Bang Ethan kan sahabat, biarain urusan ini antara aku sama dia!" Tangan Elise mengarah ke rumah sebelah.

Ibunya menarik napas. "Kenapa sih harus kamu yang ngikutin sifat Nenek. Dah sana makan, sekaligus tuh cuciin piring di wastafel, Mama sama Bu Elisa ke pasar."

"Ok!" Elise mengedipkan mata.

"Satu lagi. Beras kiriman dari Paman Charles udah datang!"

Gigi Elise merapat dan bibir membuka, saat menarik udara dingin membuat ngilu. Membayangkan karung beras saja bahunya mulai memberat. Ini adalah tugas bulanan untuk dia, selain urusan pekerjaan tentu dia tetap memberikan kontribusi sebagai penghuni rumah.

"Dah, sana makan. Ada kangkung tumis di meja."

"Kok kangkung buat sarapan, adanya aku ngantuk seharian!"

Ibunya mengangkat kemoceng memukul Pundak Elise kuat. "Makan aja, sana. Sisain buat Deo!"

Elise mengangguk kaku. Kapan pun dia dan Deo berbaikan dia tidak akan pernah mengadukan ucapan lancang sahabatnya, tidak akan.

Love Back TAMATWhere stories live. Discover now