Hell

5.3K 471 6
                                    


Neraka, julukan paling pas untuk menggambarkan situasi saat ini, panas, sesak penuh siksaan. Elise benar-benar berharap memiliki Invisible Cloak milik Harry Potter agar bisa kabur dan menghilang dari tempatnya sekarang duduk.

Nathan menempati ajakannya, dia menjemput tepat waktu. Mereka mengobrol ringan sepanjang jalan, mengenai masa lalu, bukan saat mereka berpacaran. Tidak sampai lima belas menit mereka sampai di tempat tujuan, restoran Ethan. Semua baik-baik saja di sini. 

Elise berpakaian sedikit lebih baik dibandingkan saat bersama Ethan. Jaket parka hijau army menutupi kemeja putih dan celana panjang hitam. Selain itu, dia memakai minyak zaitun hingga rambutnya tertata rapi.

Masalahnya adalah baru satu menit mereka duduk, Karin muncul. Mereka sedang berkencan dan Elise merasa seperti pihak ketiga, bukan pelakor, setan.

Mengapa Nathan harus membawa dia saat mereka sedang bertemu dan kemudian diabaikan? Dia menjadi seperti manekin di toko pakaian sekarang. Perhatian Nathan sepenuhnya pada Karin. Rasanya dia ingin lari keluar dan berteriak di jalan.

“Kak El mau pesan apa?” waiter datang menghampiri.

Elise tersentak, tanpa sadar dia menunjuk dirinya sendiri. Gadis bersenyuman manis di depannya mengangguk.

“Sebentar!” Elise meraih buku menu, melihat daftar harga, menyesuaikan dengan jumlah uang di saku jaket. “Tempura udang aja.”

“Itu aja?” tanya Nathan.

Elise hanya mengangkat ujung bibir kanan sebagai tanggapan. Dia masih tidak mengerti mengapa dia harus berada dalam situasi konyol ini, mendengarkan pasangan itu berbicara mengenai romantisme.

“Lukisan di sana bagus banget ya, Than.” Tangan Karin terangkat menunjuk lukisan yang bercahaya. Lukisan Elise, dia sengaja memakai cat glow in the dark.

“Biasa aja.” Nathan mengerling pada Elise.

Mencoba menggodaku hah? Batin Elise, try again, mejanya aku balik!

“Nathan fotoin aku di sana dong!” rengek Karin pada Nathan, sampai dia menarik-narik tangan pacarnya.

Ketika pasangan berbahagia itu lenyap dari hadapannya, Elise menarik napas kesal. Sayang, ada pasangan lain di meja depan mereka menoleh padanya, berbisik-bisik dan tertawa.

What exactly happened here? (Apa yang sebenarnya terjadi di sini) Apa yang diinginkan oleh Nathan?

“I have to go!” Elise mencengkeram pinggiran meja, siap untuk membebaskan diri dari rantai ketidak jelasan Nathan. Sebelum dia berhasil menggeser kursi, mereka berdua kembali.  (Aku harus pergi)

“Aku pengen banget deh dinding kamar aku dilukisin kaya gitu juga.” Karin duduk kembali. “Tapi, aku pengen orang yang sama yang ngelukisin.”

“Iya, nanti aku hubungin orangnya, Rin,” ucap Nathan manis.

Mendengar percakapan mereka, Elise jadi enek, bukanya girang karyanya dipuji. Dia menyambar tisu, melipatnya tidak beraturan. Apa lagi yang bisa dia lakukan?

“Cari sekarang dong, Nathan! Atau aku nanya langsung aja ke Kak Ethan?”

Oh, I’m here! Elise makin gondok. Maybe I’m invisible, berdiri dan pergi aja nggak masalahkan? Dia mendorong kursi dan berdiri.

“Mau ke mana, Elise?” tanya Nathan.

“Are you ok?” Karin meraih tangannya.

“Good! Toilet.”

“Bareng yuk!” Karin menggandeng tangan Elise seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama. Pada hal tujuan utama Elise adalah kabur.  Senyuman palsu disunggikan bibir, panas membakar di dalam.

“Sorry, aku nggak ada maksud buat ganguin kalian berdua,” kata Elise pada Karin saat mereka sudah menjauh dari meja.

“It’s ok. Nathan bilang cuman mau nostalgia,” balas Karin.

“Oh.” But your f***ng boyfriend killing me slowy with this f***ng situation.  (Nggak usah ditermahin lah ini ya)

Kembali ke meja, hidangan sudah ada di depan Nathan dan tempat duduk Karin. Waiter yang tadi membungkuk sedikit pada Elise dan berbisik, “Kak, Chef Ethan minta Kakak ngambilin makan sendiri di belakang.”

Cobaan apa lagi ini? Batin Elise makin tak tenang, meski begitu dia mengusahakan agar dia berdiri dan berjalan menuju dapur. Dapurnya luas, bernuansa putih, aroma masakan membaui udara, panci penggorengan berisik dan orang-orang yang sibuk.

Ethan di sana, sibuk memotong zukini, terlihat jelas semua perhatiannya ada pada pekerjaan, Elise jadi enggan mengganggu. Melihat wajah serius itu, dia jadi gugup. She doesn’t know why. (Dia tidak tahu mengapa)

“Permisi, pesanan sa ….”

Tidak ada tanggapan dari Ethan. Elise menelan saliva sekaligus menghentikan kata. Memang sudah waktunya pulang.

“Kamu nggak bilang makasih gitu udah ditolongin?” Ethan mendekat, senyuman lebar menggantung di bibir.

She can’t hold it anymore, marah, benci, kecewa dan putus asa bercampur aduk membuat kelenjar air matanya berfungsi. Sekarang pandangan menjadi buram. (Dia tidak bisa menahannya lagi.)

“El, are you ok?”

“Nggak! Aku mau pulang sekarang!”

“Hey, hey!” Ethan meraih tanganya. “Makan dulu, kan udah kamu pesan.”

“Kalian mau apa sih sebenarnya?” Elise menahan napas.

“Aku nggak tahu apa-apa soal Nathan. Tadi, Rara cerita kamu ada di sini, jadi aku intipin bentar dan aku juga nggak percaya apa yang aku lihat. Dia cuman pengen ngeliat mantannya cemburu apa gimana? So, aku coba nyelamatin kamu.”

Kali ini Ethan benar. Elise mengangguk. “Aku juga nggak tahu. Makananya dibungkus aja, aku pengen pulang.”

“Di luar hujan El.”

“Tempat satpam aja.”

“No! Stay here!”

“Entar bilang aku ganguin lagi.”

“Emang sih.”

“Tuh kan!” Elise merogoh kantong jaket. Seorang waiter masuk membawa piring kotor.  “Mas, tolong ini bayarin pesanan saya. Tempura satu porsi. Kembaliannya ambil aja.”

Pria yang kira-kira berumur tiga puluh tahun itu mengangguk diikuti senyuman lebar menerima uluran Elise.

Orang lain muncul dari belakang pintu dapur, dia membawa kotak styrofoam. “Chef, ini pesanannya sudah datang.”

Ethan menggerakkan tangan memanggil agar pria itu mendekat. Elise tidak tertarik sama sekali melihat isi di dalamnya, ini dapur apa lagi isinya kalau bukan bahan makanan. Namun, posisinya sekarang terjepit. Dan benda itu dibuka tepat di area matanya menyorot.

Puluhan belut menggeliat hitam dan basah menggeliat menjadi isian styrofoam. Waktu terhenti, tubuh Elise bergidik, segala macam kengerian melintasi kepalanya. Dia memiliki ketakutan pada binatang yang tidak memiliki kaki, dari ular sampai cacing tanah. Ketakutan itu tidak muncul saat hanya ada satu. Namun, sebanyak ini menjadi momok paling menakutkan.

Elise bergerak mundur, getaran merambat ke sekujur tubuhnya tanpa disadari oleh orang lain. Ketakutan membuat tubuhnya tidak terkendali dan menabrak meja di belakangnya. Benda-benda di atas meja berjatuhan, dia tidak begitu memperhatikan. Puncaknya adalah suara berisik minyak panas terkena air.

Ledakan jauh lebih besar terdengar, api membumbung mencapai langit-langit.  Elise masih tidak bisa mengendalikan diri, yang dia sadari hanya tarikan keras. Jantung berdentum, pandangan kabur, rasanya begitu sesak. Ini bukan yang dia harapkan.













Love Back TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang